BAB I
PENDAHULUAN
Hukum Islam adalah hukum
yang dibangun berdasarkan pemahaman manusia atas nash Al-Qur’an maupun
As-Sunnah untuk mengatur kehidupan manusia yang berlaku secara universal dan
relevan pada setiap zaman dan perbedaan tempat. Istilah hukum Islam merupakan
istilah khas Indonesia sebagai terjemahan dari al-fiqh al-Islamiy atau dalam konteks tertentu disebut
dengan as-syariah al-Islamiy. Istilah ini dalam literatur barat
dikenal dengan idiom Islamic
law.
Bangsa indonesia
merupakan mayoritas penduduknya beragama Islam. Agama ini dikenalkan oleh para
pedagang dari daerah Gujarat dengan jalan damai, sehingga dalam perkembangannya
agama Islam mudah diterima sebagai agama baru oleh penduduk nusantara. Dalam
perkembangan selanjutnya hukum yang berlaku dalam masyarakat nusantara mulai
bergeser kepada hukum Islam dengan berbagai keunggulannya.
Dalam perkembangannya
hukum Islam memiliki pengaruh terhadap tata hukum nasional pada masa
kependudukan Belanda di Indonesia, serta lebih berpengaruh lagi setelah
kemerdekaan negara Indonesia. Banyak pendapat tentang bagaimana hukum Islam
berpengaruh terhadap tata hukum nasional, apapun pendapatnya itu telah
membuktikan bahwa hukum Islam merupakan bagian yang penting dalam tata hukum
nasional.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Singkat
Masuknya Hukum Islam di Indonesia
Indonesia adalah salah
satu negara yang secara konstitusional tidak menyatakan diri sebagai negara
Islam, tetapi mayoritas penduduknya beragama Islam. Ditilik dari latar belakang
sejarah, hukum Islam di Indonesia mengalami beberapa periode. Pertama kedatangan Islam di Indonesia, kedua zaman kerajaan-kerajaan Islam, ketiga hukum Islam pada zaman kolonial
Belanda dan Jepang, keempat perkembangan hukum Islam di zaman
kemerdekaan.
Hingga saat ini mengenai
kapan Islam datang ke Indonesia masih terdapat beberapa perbedaan pendapat dari
para ahli sejarah. Merupakan hal yang wajar mengingat Indonesia adalah negara
kepulauan (Archiphelago State), yang mana Islam datang secara bertahap.
Suatu wilayah mungkin sudah kedatangan para penyebar Islam, sementara wilayah
lain belum tersentuh dakwah Islam. Pakar sejarah memiliki pendapat dan argumen
masing-masing mengenai kedatangan Islam di nusantara. Ada yang berpendapat
bahwa kedatangan Islam di Indonesia pada abad ke-7 masehi. Hal ini didasarkan
pada bukti adanya pedagang-pedagang muslim yang berasal dari Arab, Persia, dan
India yang sudah sampai ke kepulauan nusantara. Pendapat yang lain menyatakan
bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-13 masehi. Hal ini ditandai dengan
adanya masyarakat muslim di daerah Samudra Pasai, Perlak, dan Palembang.
Sementara itu di Jawa terdapat makam Fatimah Binti Maimun di Leran, Gresik yang
berangka tahun 475 H atau 1082 M, dan makam-makam di Tralaya yang berasal dari
Abad ke-13. Hal tersebut merupakan bukti nyata berkembangnya komunitas Islam
pada saat itu. Sementara itu, Kennet W. Morgan menerangkan bahwa berita yang
dapat dipercaya tentang permulaan Islam di Indonesia adalah berita dari Marco
Polo. Dalam prjalanannya kembali ke Venesia pada tahun 1292 M, Marco Polo
singgah di Perlak, sebuah kota di Pantai Utara Sumatra. Menurutnya penduduk
Perlak kala itu diIslamkan oleh para pedagang yang dia sebut dengan Saracen. Di sebuah utara Perlak
terdapat kota yang bernama Samara, dan tak jauh dari Samara terdapat tempat
yang oleh Marco Polo disebut dengan Basma. Dalam perkembngannya kota tersebut
dikenal dengan nama Samudera dan Pasai.
Ketika Ibnu Batutah
singgah di Samudra Pasai pada tahun 1345 M, ia melihat perkembangan Islam di
negeri tersebut. Ia mengagumi Sultan Al-Malik Al-zahir dalam berdiskusi tentang
berbagai masalah Islam dan ilmu fiqih. Menurut pengembara Arab Muslim Maroko
itu, selain sebagai seorang raja di Kerajaan Samudra Pasai, Sultan Al-Malik
Al-Zahir juga seorang yang paham tentang hukum-hukum Islam (Ulama). Kerajaan
Samudra Pasai mempunyai peranan penting dalam proses Islamisasi Malaka maupun
pulau Jawa. Bahkan Sultan Al-Malik Al-Zahir menurut ibnu Batutah adalah pecinta
theologi dan ia senantiasa memerangi orang kafir dalam upaya mengajak
mereka memeluk agama Islam.
Terkait dengan hukum
Islam, beberapa ahli menyebutkan bahwa hukum Islam yang berkembang di Indonesia
bercorak Syafi’iyah. Hal tersebut dilihat dari bukti-bukti sejarah diantaranya,
Sultan Al-Malik Al-Zahir dari Samudra Pasai merupakan ahli agama dan hukum Islam
yang terkenal pada pertengahan abad ke-14 Masehi. Melalui kerajaan inilah hukum
Islam madzhab Syafi’i tersebar ke kerajaan-kerajaan Islam lainnya di nusantara,
seperti kerajaan Malaka yang sering datang ke Samudra Pasai untuk mencari
penyelesaian atas persoalan-persoalan hukum yang muncul di
Malaka.
Berikutnya tokoh Islam
pada abad ke-17 M adalah Nuruddin Ar-Raniri (w.1068 H) yang memiliki karya
berupa kitab-kitab fiqih seperti kitab Sirath
Al-mustaqim, Jawahirul Al-’ulum Fi Kasf Al-Ma’lum, serta Kaifiyah Ash-Shalah. Tokoh yang
semasa dengan Ar-Raniri adalah Abdur Rauf As-Sinkili (1042-1105 H), beliau
termasuk mujtahid nusantara yang memiliki karya fiqih yang cukup baik, yakni Mir’ah At-Thullab Fi Tasyyi’
Ma’rifah Al-Ahkam As-Syar’iyyah Li Al-Malik Al-Wahab, karya yang ditulis atas permintaan
sultan Aceh ini diselesaikan pada tahun 1633 M.
Pada abad ke-18 M
terdapat ulama Fiqih Syaikh Arsyad Al-Banjari (1710-1812) yang menulis kitab
fiqih berjudul Sabil
Al-Muhtadin Li Tafaqquh Fi Amr Ad-Din(merupakan syarah kitab Shirath Al-Mustaqim yang bercorak Syafi’iyyah) yang
dijadikan rujukan dan pedoman penyelesaian sengketa di kesultanan Banjar.
Dari paparan diatas
nampak bahwa hampir dalam setiap masa, kajian-kajian hukum Islam senantiasa
diwarnai oleh ulama-ulama yang bermadzhab Syafi’i. Bukti yang lain adanya fakta
yang menunjukkan bahwa kebanyakan kitab-kitab dikaji dan dipelajari dalam
madrasah-madrasah dan pesantren-pesantren di Indonesia sampai saat ini adalah
kitab-kitab yang bermadzhab Syafi’i. Oleh karena itulah corak Syafi’iyyah yang
kemudian tampak pada praktik kegamaan umat Islam Indonesia.
Dapat dikatakan bahwa
pada masa dahulu hukum Islam telah dipraktekkan oleh masyarakat dan menjadi
sistem hukum mandiri yang digunakan kerajaan-kerajaan Islam nusantara. Oleh
karenanya tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa pada masa itu hukum Islam
telah menjadi hukum positif di Indonesia.
Pada perkembangannya,
pada akhir abad ke-16 atau tepatnya tahun 1596 organisasi perusahaan dagang
Belanda (VOC) merapatkan kapalnya di pelabuhan Banten, Jawa Barat. Pada mulanya
kedatangan Belanda (yang beragama Kristen Protestan) ke Hindia Belanda tidak
ada kaitannya dengan masalah (hukum) agama, namun pada perkembangan
selanjutnya, berkaitan dengan kepentingan penjajahan. pada akhirnya mereka
tidak bisa menghindari terjadinya persentuhan dengan masalah hukum yang berlaku
bagi penduduk pribumi. Sehubungan dengan berlakunya hukum adat bagi bangsa
Indonesia dan hukum agama bagi masing-masing pemeluknya.
Maksud kedatangan Belanda di Indonesia semula untuk berdagang, namun kemudian
halauannya berubah untuk menguasai kepulauan indonesia. Untuk mencapai maksud
tersebut, pemerintah Belanda memberi kekuasaan kepada VOC (Vereenigde
Oost-Indische Compagnie) untuk mendirikan benteng-benteng dan mengadakan
perjanjian dengan raja-raja di Nusantara. Karena hak yang diperolehnya itu, VOC
mempunyai dua fungsi, pertama sebagai pedagang dan kedua sebagai badan
pemerintahan. Untuk memantapkan pelaksanaan kedua fungsi itu, VOC mempergunakan
hukum Belanda yang dibawanya. Untuk daerah-daerah yang dikuasainya. VOC
membentuk badan-badan peradilan untuk bangsa Indonesiakala itu .Namun, oleh
karena susunan badan peradilan yang disandarkan pada hukum Belanda itu tidak
dapat berjalan dalam praktik, maka VOC membiarkan lembaga-lembaga asli yang ada
dalam masyarakat berjalan terus seperti keadaan sebelumnya. VOC terpaksa harus
memperhatikan hukum yang hidup dan diikuti oleh rakyat dalam kehidupan mereka
sehari-hari. Dalam statuta Jakarta tahun 1642 disebutkan bahwa mengenai
kewarisan warga Indonesia yang beragama Islam harus dipergunakan hukum Islam
yakni hukum yang dipakai oleh rakyat sehari-hari.
Perkembangan hukum Islam
di Indonesia pada masa penjajahan Belanda dapat dilihat ke dalam dua
bentuk. Pertama adanya toleransi pihak belanda melalui
VOC yang memberikan ruang yang cukup luas bagi perkembangan hukum Islam. Kedua adanya intervensi Belanda terhadap
hukum Islam dengan menghadapkannya pada hukum adat.
Organisasi VOC karena
mengalami kebangkrutan, pada tanggal 31 Desember 1799 dibubarkan. Setelah
kekuasaan VOC berakhir dan digantikan oleh Belanda, maka seperti yang terlihat
kemudian, sikap Belanda berubah-ubah terhadap hukum Islam. Setidaknya perubahan
sikap Belanda itu dapat dilihat dari tiga sisi:
1. Menguasai Indonesia sebagai wilayah yang
memiliki sumber daya alam yang cukup kaya.
2. Menghilangkan pengaruh Islam dari
sebagian besar orang Islam dengan proyek Kristenisasi.
3. Keinginan Belanda untuk menerapkan
apa yang disebut dengan politik hukum yang sadar terhadap Indonesia. Maksudnya,
Belanda ingin menata dan mengubah kehidupan hukum di Indonesia dengan hukum
Belanda.
Menurut H.J Benda, pada
akhir abad ke-19 banyak orang Belanda berharap untuk dapat menghilangkan
pengaruh Islam dari sebagian besar warga Indonesia dengan berbagai cara, dan
diantaranya melalui proses Kristenisasi. Harapan itu didasarkan pada anggapan
tentang superioritas agama Kristen terhadap agama Islam, dan sebagian lagi
berdasarkan kepercayaan bahwa sifat sinkretik agama Islam di pedesaan Jawa akan
sangat berpengaruh terhadap lancarnya proses kristenisasi di Indonesia, jika
dibandingkan dengan mereka yang berada di negara-negara muslim lainnya. Banyak
orang Belanda yang berpendapat bahwa pertukaran agama penduduk indonesia akan
menguntungkan negeri Belanda, karena penduduk pribumi yang mengetahui eratnya
hubungan agama mereka dengan agama pemerintahnya, setelah mereka masuk Kristen
akan menjadi warga negara yang loyal lahir dan batin. Pendapat ini didukung
oleh teori yang berlaku pada waktu itu yang menyatakan bahwa hukum mengikuti
agama yang dipeluk seseorang. Kalau ia beragama Kristen, maka hukum Kristenlah
yang berlaku baginnya, dan seterusnya.
B. Teori-teori
Terkait Keberadaan Hukum Islam di Indonesia
Terkait mengenai
keberlakuan hukum Islam dikalangan masyarakat Indonesia muncul berbagai teori,
dimana yang satu dengan yang lain memiliki karakteristik tersendiri. Adapun
mengenai hal ini terdapat beberapa macam teori, diantaranya teori Kredo atau Syahadat,
teoriReceptio in Complexu, teori Receptie,
teori Receptie Exit, teori Receptie a Contario,
dan teori Recoin (Receptio Contextual Interpretario).
1. Teori Kredo atau Syahadat
Teori kredo atau
syahadat di sini adalah teori yang menyatakan bahwasanya pelaksanaan hukum
Islam harus dijalankan bagi mereka yang telah mengikrarkan dua kalimah syahadat
sebagai konsekuensi logis dari pengucapan syahadat. Teori ini diambil dari
Al-Qur’an, diantaranya pada surat Al-Fatihah : 5, Al-Baqarah : 179, Ali Imran :
7, An-Nisa : 13, 14, 49, 59, 63, 69, dan lain-lain. Teori ini sama dengan teori
otoritas hukum sebagaimana yang dikemukakan oleh H.A.R Gibb dalam bukunya, The Modern Trend of Islam (1950). Menurut teori ini, orang
Islam menerima otoritas hukum Islam terhadap dirinya. Secara sosiologis,
orang-prang yang sudah beragama Islam menerima otoritas hukum Islam, taat pada
hukum Islam. Teori ini menggambarkan bahwa dalam masyarakat Islam terdapat
hukum Islam. Hukum Islam ada dalam masyarakat Islam karena mereka menaati hukum
Islam sebagai bentuk ketaatan ter/hadap perintah Allah dan Rasulullah.
Menurut analisis Jaih
Mubarok, teori ini bersifat idealis karena tidak dibangun lebih banyak berdasarkan
doktrin Islam dan cenderung mengabaikan pengujian empirik di lapangan. Meskipun
Gibb sendiri mengakui bahwa tingkat ketaatan umat Islam terhadap hukum Islam
mesti berbeda-beda, karena tergantung pada kualitas takwanya kepada Allah,
sehingga ada yang taat terhadap seluruh aspek hukum Islam dan adapula yang taat
hanya pada sebagian aspek hukum Islam.
2. Teori Receptio in Complexu
Menurut teori Receptio
in Complexu bagi setiap penduduk berlaku hukum agamanya masing-masing atau
dengan kata lain mengikuti agama yang dianut seseorang. Bagi orang Islam
berlaku hukum Islam, demikian juga berlakunya hukum agama lain bagi pemeluknya.
Pioneer pemikiran ini adalah para sarjana Belanda seperti Carel Frederik Winter
seorang ahli tertua tentang hal-hal Jawa, juga Salomon Keyzer (1823-1868)
seorang ahli bahasa dan Ilmu kebudayaan Hindia Belanda. Teori ini kemudian
dikemukakan oleh Lodewijk Willem Christian Van Den Berg (1845-1927) seorang
ahli hukum Islam, politikus, penasehat pemerintah Hindia Belanda untuk bahasa Timur
dan hukum Islam.
Melalui ahli hukumnya
Van Den Berg teori Receptio in
Complexu yang menyatakan
bahwa syariat Islam secara keseluruhan berlaku bagi pemeluknya. Sehingga
berdasarkan pada teori ini, maka pemerintahan Hindia Belanda pada tahun 1882 mendirikan
peradilan agama yang ditujukan kepada warga masyarakat yang memeluk agama
Islam.
Daerah jajahan Belanda
yaitu Indonesia dengan Ibu kotanya Batavia dalam hal kekuasaan administrasi
pemerintahan dan peradilan, termasuk peradilan agama sepenuhnhya ditangan
Residen. Residen dengan aparat kepolisisannya berkuasa penuh menyelesaikan
perkara pidana maupun perdata yang terjadi.
Teori Receptio in
Complexu tersebut bisa dilihat dari bukti-bukti yang sebagian akan disebutkan
berikut ini:
a. Statu Batavia 1642 yang menyebutkan bahwa “Sengketa
warisan antara orang pribumi yang beragama Islam harus diselesaikan dengan
mempergunakan hukum Islam.
b. Pada tahun 1760, VOC mengeluarkan peraturan senada yang
disebut dengan Resolutie
der Indische Regeering.
c. Dikeluarkannya Stbl.No.22 pasal 13 pada tahun 1820 yang
menentukan bahwa Bupati wajib memperhatikan soal-soal agama Islam dan untuk
menjaga supaya para pemuka agama dapat melakukan tugas mereka sesuai dengan
adat kebiasaan orang Jawa seperti dalam soal perkawinan, pembagian pusaka dan
sejenisnya.
d. Van den Berg
mengonsepkan staatsblad 1882 Nomor 152 yang berisi
ketentuan bahwa bagi rakyat pribumi atau rakyat jajahan berlaku hukum agamanya
yang berlaku pada lingkungan hidupnya.
e. Melalui Stbl.No.152 1882 dibentuklah Pengadilan agama
dengan nama Priesterraad,
yang wewenangnya adalah menyelesaikan perkara-perkara antara umat Islam menurut
hukum Islam.
f. Dalam pasal 75 RR (regeeringsreglement) Tahun
1855. Pasal 75 ayat 3 RR berbunyi : “Oleh hakim Indonesia itu hendaklah
diberlakukan undang-undang agama (godsdienstige wetten) dan kebiasaan
penduduk Indonesia itu”. Pada masa inilah muncul kebijakan adanya Pengadilan
Agama disamping Pengadilan Negeri yang sebelumnya didahului dengan penyusunan
kitab yang berisi tentang himpunan hukum Islam.
Dalam konteks Indonesia,
teori ini dibangan berdasarkan atas amaliyah umat Islam yang begitu terikat
dengan hukum Islam di bidang ibadah dan al-ahwal asy-syakhsiyah. Adapun bidang mu’amalah, jinayah, dan siyasah,
masih banyak terabaikan.
3. Teori Receptie
Kemudian teori receptio in complexu ditentang oleh Cornelis Van
Vollenhoven dan Christian Snouck Hurgronje yang menyatakan bahwa hukum Islam
dapat diberlakukan sepanjang tidak bertentangan dengan hukum adat. Jadi dengan
demikian menurut pandangan teori ini, untuk berlakunya hukum Islam harus
diresepsi (diterima) terlebih dahulu oleh hukum adat. Oleh karenanya menurut
teori tersebut seperti hukum kewarisan Islam tidak dapat diberlakukan, karena
belum diterima atau bertentangan dengan hukum adat. Jadi yang berlaku bagi
kelompok atau umat Islam adalah hukum adat.
Teori ini dikemukakan
oleh Cornelis van Vollenhoven (1874-1933) dan Christian Snouck Hurgronje
(1857-1936). Cornelis Van Vollenhoven adalah seorang ahli hukum adat Indonesia,
yang diberi gelar sebagai pendasar dan pencipta, pembuat sistem ilmu hukum
adat. Sedangkan Christian Snouck Hurgronje adalah seorang doktor sastra Semit
dan ahli dalam bidang hukum Islam.
Penerapan Teori Receptie
dimuat dalam pasal 134 IS (Indische Staatregeling), yang berbunyi
sebagai berikut: ”Bagi orang-orang pribumi, kalau hukum mereka menghendaki,
diberlakukan hukum Islam selama hukum itu telah diterima oleh masyarakat hukum
adat”. Pasal ini sering disebut dengan pasal receptie.
Upaya real yang dilakukan
oleh pemerintah Belanda dalam menghambat pelaksanaan hukum Islam di Indonesia
dapat dilihat dari beberapa bukti sebagai berikut:
a. Sama
sekali tidak memasukkan hudud dan qishas dalam bidang hukum pidana.
Hukum pidana diberlakukan dan diambil langsul dari Wetboek van Strafrect dari Nederland yang diberlakukan
sejak januari 1919 (Staatsblad 1915 No. 732).
b. Dalam bidang
tata negara, ajaran Islam mengenai hal tersebut dihancurkan sama sekali.
Pengkajian terhadap ayat-ayat suci Al-Qur’an yang memberikan pelajaran agama
dan penguraian hadits dalam bidang politik tentang kenegaraan atau
ketatanegaraan dilarang.
c. Mempersempit
berlakunya hukum muamalah yang menyangkut hukum perkawinan dan hukum kewarisan.
Khusus untuk kewarisan Islam diusahakan untuk tidak berlaku. Sehubungan dengan
hal itu, diambil langkah-langkah; 1). Menanggalkan wewenang Peradilan Agama di
Jawa dan Madura, serta Kalimantan Selatan untuk mengadili waris, 2). Memberi
wewenang memeriksa perkara waris kepada landraad, 3). Melarang penyelesaian
dengan hukum Islam jika di tempat adanya perkara tidak diketahuai isi Hukum
Adat.
4. Teori Receptie Exit
Salah satu makna
kemerdekaan bagi bangsa Indonesia adalah terbebasnya dari pengaruh hukum
Belanda. Teori ini dikemukakan oleh Hazairin. Menurut Hazairin, setelah
Indonesia merdeka walaupun aturan peralihan menyatakan bahwa hukum yang lama
masih berlaku selama jiwanya tidak bertentangan dengan UUD 1945, seluruh
peraturan pemerintahan Belanda yang berdasarkan teori receptie tidak berlaku lagi karena jiwanya
bertentangan dengan UUD 1945. Teori receptie harus keluar (exit) karena
bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Semangat para pemimpin Islam
menentang pendapat Christian Snouck Hurgronje dengan menyandarkan pemberlakuan
hukum Islam pada hukum adat terus bergulir terutama pada saat menjelang
proklamasi kemerdekaan negara Indonesia. Upaya ini nampak dengan lahirnya
Piagam Jakarta (Jakarta Charter) pada tanggal 22 Juni 1945.
Menurut teori receptie exit, pemberlakuan
hukum Islam tidak harus didasarkan atau ada ketergantungan dengan hukum adat.
Hal ini semakin dipertegas dengan diberlakukannya UU No. 1 tahun 1974 tentang
perkawinan, yang memberlakukan hukum Islam bagi orang Islam, UU No. 7 tahun
1989 tentang Peradilan Agama, dan juga Inpres No. 1 tahun 1991 tentang
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.
Pokok-pokok pikiran
Hazairin terkait dengan hal tersebut adalah:
a. Teori receptie telah patah, tidak berlaku dan exit dari tata negara Indonesia sejak tahun
1945 dengan merdekanya negara Indonesia dan mulai berlakunya UUD 1945.
b. Sesuai
dengan UUD 1945 pasal 29 ayat 1, maka negara republik Indonesia berkewajiban
membentuk hukum nasional Indonesia yang bahannya adalah hukum agama.
c. Hukum
agama yang masuk dan menjadi hukum nasional Indonesia bukan hanya hukum Islam,
melainkan juga hukum agama lain. Hukum agama dibidang hukum perdata maupun
hukum pidana diserap menjadi hukum nasional Indonesia dengan berdasarkan
Pancasila.
Teori receptie exit yang dikemukakan Hazairin
dikembangkan oleh muridnya, Sayuthi Thalib yang menulis buku Receptio A Contrario: Hubungan
Hukum Adat dengan Hukum Islam. Menurut
teori ini, bagi umat Islam, yang berlaku adalah hukum Islam. Hukum adat baru
dinyatakan berlaku bila tidak bertentangan dengan agama Islam atau hukum Islam.
Pendapat ini kemudian disebut dengan teori receptio
a contario.
5. Teori Receptie a Contario
Penjabaran dari teori receptie a contrario sebagaimana telah dijelaskan
seecara singkat di atas, dalam pandangan Afdol mengutip Sayuthi Thalib, adalah
sebagai berikut:
a. Bagi
oarang Islam berlaku hukum Islam.
b. Hal tersebut sesuai
dengan keyakinan dan cita-cita hukum, cita-cita batin dan moralnya.
c. Hukum adat
berlaku bagi orang Islam selama tidak bertentangan dengan agama
Islam dan hukum Islam.
Kerangka pikir teori
tersebut merupakan kebalikan dari teori receptie. Perbedaan teori receptie exit dengan teori receptie a contrario terletak pada pangkal tolak
pemikirannya. Teori receptie
exit buatan Hazairin bertolak
dari kenyataan bahwa sejak kemerdekaan bangsa, berdirinya RI, dasar negara
Pancasila, UUD 45 dalam Pembukaan dan pemahaman terhadap pasal II Aturan
Peralihan ialah dengan mendahulukan dasar dan jiwa kemerdekaan dan tidak
menerima pemahaman aturan peralihan secara formal belaka. Adapun landasan teori receptie a contrario bertolak pada kenyataan bahwa
negara Indonesia yang merdeka, sesuai dengan cita-cita batin, cita-cita moral,
dan kesadaran hukum kemerdekaan, berarti ada keluasan untuk mengamalkan ajaran
agama dan hukum agama.
6. Teori Recoin (Receptio Contextual Interpretario)
Teori ini dicetuskan
oleh Dr. Afdol, seorang pakar Hukum dari Universitas Airlangga, Surabaya.
Menurutnya, teori ini diperlukan untuk melanjutkan teori-teori sebelumnya. Inti
teorirecoin adalah
penafsiran kontekstual terhadap tekstual ayat Al-Qur’an. Menurut Afdol, teori
ini didasarkan pada hasil penelitiannya tentang waris Islam, misalnya pembagian
waris antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki mendapat dua kali bagian dari
perempuan. Dengan kata lain, bagian perempuan setengah dari bagian laki-laki.
Teori ini pada dasarnya
berbeda istilah meskipun substansinya sama dengan para pemikir, seperti Hasbi
Ash-Shiddiqi dengan fiqh ala
Indonesia, pribumisasi ala
Gusdur,Reaktualisasi Munawir
Sadjali, atau Hermenetik Fazlur Rahman.
Sebagai kelanjutan dari
teori recptie exit dan teori recepio contrario, menurut Ichtijanto S.A,
muncullah teori eksistensi. Teori eksistensi adalah teori yang menerangkan
adanya hukum islam dan hukum Nasional Indonesia. Menurut teori ini, eksistensi
atau keberadaan hukum islam dan hukum nasional itu ialah:
a. Ada,
dalam arti hukum islam berada dalam hukum nasional sebagai bagian yang integral
darinya.
b. Ada,
dalam arti adanya kemandiriannya yang diakui berkekuatan hukum nasional dan
sebagai hukum nasional.
c. Ada
dalam hukum nasional, dalam arti norma hukum islam sebagai penyaring
bahan-bahan hukum nasional Indonesia.
Berdasarkan
teori eksistensi diatas, mka keberadaan hukum islam dalam tata hukum nasional,
merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat dibantah adanya. Bahkan lebih dari
itu, hukum islam merupakan bahan utama dari hukum nasional.
PENUTUP
Hukum di Indonesia
mengalami beberapa periode berdasarkan latar belakang sejarahnya, pertama kedatangan islam di Indonesia, kedua zaman kerajaan-kerajaan islam,ketiga hukum islam pada zaman kolonial
belanda dan jepang, keempat perkembangan hukum islam di zaman
kemerdekaan.
Teori-teori keberadaan
islam di Indonesia,
1. Teori Kredo/Syahadat
2. Teori Receptio in Complexu
3. Teori Receptie
4. Teori Receptie Exit
5. Teori Receptie a Contario
6. Teori Recoin (Receptio Contexual
Interpretario)
Setelah melewati berbagi
proses pertumbuhan, mulai dari awal kedatangan islam sampai sekarang ini hukum
islam menjadi faktor penting dalam menentukan setiap pertimbangan politik untuk
mengambil kebijaksanaan penyelenggaraan negara, sehingga kontribusi hukum islam
dalam pembangunan hukum nasional merupakan sebagian dari ajaran dan keyakinan
islam yang eksis dalam kehidupan hukum nasional serta merupakan bahan dalam
pembinaan dan pengembangannya.
DAFTAR PUSTAKA
1) Ghofur Anshori,
Abdul, Prof., Dr.,S.H., M.H., Hukum
Islam Dinamika dan Perkembangannya di Indonesia, Kreasi Total Media, Yogyakarta.
2) Supriadi, Dedi, M.Ag., SEJARAH HUKUM ISLAM, Pustaka Setia, Bandung, 2007.
3) Barakatullah, Abdul Halim, S.Ag., SH.,
MH., CD, Prasetyo, Teguh, Dr., SH., M.Si.,HUKUM ISLAM, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 2006.
4) Djamili, R. Abdoel, PENGANTAR HUKUM INDONESIA,
RajaGrafindo, Jakarta, 2009.
Komentar
Posting Komentar