BABI
PENDAHULUAN
1.
LATAR BELAKANG
Pada dasarnya suami isteri harus
bergaul dengan sebaik-baiknya,saling mencintai dan menyayangi.suami isteri
harus bersabar apabila melihat sesuatu yang kurang berkenan atau kurang di
senangi pada pasangannya,hal ini sebagaiman di sebutkan dalam QS.an-nisa ayat
19 yang artinya: “...dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila
kamu tidak menyukai mereka,(maka bersabarlah) kerena mungkin kamu tidak
menyukai sesuatu,padahal allah menjadikan pedanya kebaikan yang banyak”.
Al-Qur’an
menggambarkan beberapa situasi dalam kehidupan suami isteri yang menunjukkan
adanya keretakan dalam rumah tangga yang dapat berujung pada perceraian.
Keretakan dan kemelut rumah tangga tersebut bermula dari tidak berjalannya
aturan yang ditetapkan allah bagi kehidupan suami isteri dalam bentuk hak dan kewajiban yang meti dipenuhi
kedua belah pihak. Al-qur’an menjelaskan beberapa usaha yang harus dilakukan
menghadapi kemelut tersebut agar perceraian tidak sampai terjadi. Dengan
demikian al-qur’an mengantisipasi kemungkinan terjadinya perceraian dan
menempatkan perceraian itu sebagai alternatif terakhir yang tidak mungkin
dihindarkan.
BABI
PEMBAHASAN
I.SEBAB-SEBAB
YANG MELATARBELAKANGI PUTUSNYA HUBUNGAN PERKAWINAN
1. Nusyuz
Nusyuz
yaitu meninggalkan kewajiban suami isteri. Nusyuz secara etimologogi berarti
irtifa’ yang berarti meninggi atau terangkat.isteri
nusyuz terhadap suami berarti isteri merasa dirinya sudah lebih tinggi kedudukanya
dari suaminya,sehingga ia tidak lagi merasa berkewajiban mematuhinya. Secara
definitif nusyuz diartikan dengan “kedurhakaan isteri terhadap suami dalam hal
menjalnkan apa-apa yang diwajibkan Allah atasnya dan menjalankan kewajiban
sebagai isteri”
Nusyuz
dari pihak isteri seperti isteri meninggalkan rumah tanpa seizin suami,enggan
melaksanakan kewajibannya sebagai isteri,bersikap membangkang terhada
suami.terhadap isteri yang demikian ini al-Qur’an memberi petunjuk cara
menormalisir keadaanya: mengembalikan kepada keduduknya sebagai isteri melalui
jalan yang jelas dan dikenal dalam dunia pendidikan dan perbaikan. Mengenai
caranya diserahkan kepada suami selaku pemimpin dan penanggung jawab keluarga.
Dalam surat an-nisa ayat 34 di jelaskan bahwa: “wanita-wanita yang kamu
khawatirkan nusyuznya,maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat
tidur mereka,dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu,maka
janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkanya,sesungguhnya allah maha tinggi
lagi maha besar”
Dari ayat diaatas ,tindakan yang
dapat dilakukan suami terhadap isterinya yang nusyuz,ialah:
Pertama,bila terlihat tanda-tanda
bahwa isteri akan nusyuz,suami harus memberikan peringatan dan
pengajaran,nasehat dan petunjuk yang baik. Menjelaskan kepada isterinya bahwa
tindakannya perbuatan dosa disisi allah,salah menurut agama dan menimbulkan
risiko ia dapat kehilangan haknya. Apabila dangan pengajaran seperti itu si
isteri kembali kepada keadaan semula sebagai isteri yang baik,masalah sudah
terselesaikan dan tidak boleh diterukan kepada tindakan lain.
Kedua,apabila dengan cara pertama
isteri tidak memperlihatkan perbaikan sikap dan secara nyata nusyuz itu telah
terjadi,langkah kedua yang ditempuh suami ialah pisah tempat tidur,isteri dikucilkan
dari tempat tidur dalam arti menghentikan hubungan seksual. Hijrah dalam ayat
diatas bisa diartikan meninggalkan komunikasi dengan isteri. Apalgi dengan cara
ini telah kembali taat,persoalan sudah trselesaikan dan tidak boleh diteruskan
dengan tindakan lain.
Ketiga,jika dengan cara pisah
ranjang,isteri belum memperlihatkan adanya perbaikan, ditempuh langkah ketiga, yaitu
suami boleh mengambil tindakan fisik, suami boleh memukul isterinya dengan
pukulan yang tidak menyakiti. pukulan dalam hal ini dalam bentuk ta’dib atau
edukatif, bukan atas dasar kebencian.
Nusyuz
dari pihak suami, mengandung arti pendurhakaan suami kepada allah karena
meninggalkan kewajibannya kepada isteri. Nusuz suami terjadi apabila ia tidak
melaksanakan kewajiban kepada isterinya,baik meninggalkan kewajibannya yang
bersifat materi ,seperti nafkah atau meninggalkan kewajibanya yang bersifat non
materi yaitu tidak menggauli isterinya secara mu’asyarah bil ma’ruf.
Pengertiannya luas sekali ,yaitu segala sesuatu yang dapat di kategorikan
mnggauli isterinya dengan cara buruk,seperti suami bersikap keras dan kasar
kepada isteri,tidak mau menggauli (badaniyah) isterinya dalam waktu
tertentu,dan tindakan lain yang bertentengan dengan asas pergaulan baik.
Dijelaskan
dalam surat an-nisa ayat 128 yang artinya: “dan jika seorang wanita khawatir
akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya,mka tidak mengapa bagi keduanya
mengadakan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut
tabiatnya kikir. Dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan
memelihara dirimu (dari nusyuz) ,maka sesungguhnya allah adalah maha mengetahui
apa yang kamu kerjakan”.
Dari
ayat diatas dapat difahami pabila suami nusyuz,dengan ciri-ciri yang telah
dijelaskan atau suami yang i’rad yaitu suami berpaling dari isterinya dalam
arti mulai tidak senang kepada isterinya karena sebab-sebab tertentu,isteri
hendaknya brusaha mencari jalan sebaik-baiknya untuk memperlunak hati suami dan
membuat keridaan suami menurut cara yang di bolehkan syara’.
2. Syiqaq
Syiqaq
mengandung arti pertengkaran, kata ini
biasanya dihubungkan kepada suami isteri ,yang berarti pertengkaran yang terjadi diantara suami isteri yang tidak
dapat diselesaikan sendiri oleh keduanya.
pertengkaran, perpecahan, persengketaan antara suami isteri itu sedemikian rupa
seakan-akan menjadi dua belahan yang sangat sulit untuk diselesaikan sendiri
oleh keduanya.
Sebagimana
dijelaskan diatas,apabila krisis yang dihadapi suami isteri sudah dicari
penyelesaianya seoptimal mungkin akan tetapi tidak berhasil,maka kepada suami
isteri diperkenankan untuk mengakhiri atau memutuskan ikata perkawinannya.
Menurut
hukum islam, pemutusan ikatan perkawinan dapat dilakukukan dengan beberapa cara
tergantung dari pihak siapa yang berkehendak untuk memutuskan ikatan perkawinan
tersebut. dalam hal ini ada empat kemungkinan:
1.
Putusnya
perkawinan atas kehendak perkawinan atas kehendak suami dengan alasan tertentu
dan kehendaknya itu dinyatakan melelui ucapan tertentu,atau melalui tulisan
atau isyarat bagi suami yang tidak bisa bicara. Percerian bentuk ini disebut
talak.perceraian yang inisiatifnya dari suami juga bisa dalam bentuk ila’
,yaitu suami bersumpah untuk tidak menggauli isterinya dalam bentuk dhihar
yaitu suami menymakan isterinya dengan ibunya dalam hal keharaman untuk
digauli.ila’ dan hihar ini sebagai prolog terjadinya perceraian,dalam arti
kalau dalam tempo empat bulan sesudah suami melakukan ila’ atau dhihar tidak
mau kembali kepada isterinya perkawinan baru dinyatakan putus.
2.
Putusnya
perkawinan atas kehendak isteri dengan alasan isteri tidak snaggup meneruskan
perkawinan karena ada sesuatu yang dinilai negatif pada suamnya ,sementara
suami tidak mau menceraikan isteri. Untu memutuskan perkawinannya ini isteri
memberikan sesuatu materi kepada suami dan suami menyetujuinya. Bentuk
percerian yang inisiatifnya dari isteri dengan cara seperti ini disebut khulu’.
3.
Putusnya
perkawinan melalui putusan hakim sebagi pihak ketiga setelah melihat adanya
sesuatu pada suami atau pada isteri yang menunjukkan hubungan perkwinan antara
keduanya tidak dapat diteruskan. Putusnya perkawinan ni disebut fasakh.
4.
Putusnya
perkawinan atas kehendak allah yaitu
salah seorang diantara suami isteri meninggal dunia. Kematian salah satu pihak
dengan sendirinya berakhir pula ikatan perkawinan.
2. PENGERTIAN, DASAR HUKUM DAN KONSEKUENSI HUKUM DARI ILA’, KHULU, DHIHAR,
FASAKH, TALAK
a. illa’
dalam hukum islam ila’
ialah : ‘sumpah suami dengan menyebut nama allah atau sifatnya yang tertuju
kepada isterinya untuk tidak mendekati isterinya itu,baik secara mutlak atau
dibatasi dengan ucapan selama-lamanya,atau dibatasi empat bulan atau lebih”.
Beberapa contoh ucapan
ila’ yaitu suami kepada isterinya sebagi berikut:
“demi allah
saya tidak akan mengumpuli isteriku”
Ila’ merupakan ungkapan
kasar ketidaksenangan suami kepada isterinya yang akan memberikan dampak
keharmonisan hubungan suami isteri bahkan bisa berakibat berakhirnya perkawinan
apabila suami tidak mau menggauli kembali isteri dengan mencabut sumpahnya. Bagaiman
penyelesaiannya apabila ada suami yang meng-ila’ isterinya.
Dalam hal ini diatur dalam firman allah surat
al-baqarah ayat 226-227 yang artinya: “kepada orang-orang yang meng-ila’
isterinya,diberi tangguh empat bulan (lamanya),kemudian jika mereka kembali
(kepada isterinya) maka sesungguhnya allah maha pengampun lagi maha penyayang.
Dan jika mereka berazam (bertetap hati) untuk talaq,maka sesungguhnya allah
maha mendengar lagi maha tahu.”
Hukum ila’ ada dua
macam, hukum ukhrawi yaitu berdosa jika tidak kembali kepada isterinya,dan
hukum duniawi,yaitu berupa perceraian setelah empat bulan menunggu sejak
mengucapkan ila’.
Suami yang bersumpah
meng-ila’ isterinya isuruh menunggu empat bulan. Setelah itu jika suami
mencabut sumpahnya dan kembali mencampuri isterinya yang mereka sumpahi untuk
ditinggalkan,maka yang demikian itu merupakan taubat dari dosa dan allah akan
mengampuninya bila ditebus dengan kaffarah.dengan demikian jelaslah bahwa ila’
itu merupakan perbuatan yang dilarang karena menyiksa isteri dengan cara
menjauhi dan meninggalkan sesuatu yang menjdi tabi’at kemanusiaannya.
2. khulu’
Menurut etimologi kata
Khulu berasal dari kata khola’-yakhlu’-khulu’ yang artinya
melepas,mencopot,menanggalkan. Khulu
disebut juga al-fida yaitu tebusan,karena isteri menebus dirinya dari suaminya
dengan mengembalikan apa yang pernah diterimanya.
Dengan adanya tebusan itu
isteri melepaskan diri dari ikatansuaminya. Dalam al Quran digambarkan bahwa
hubungan suami steri itu ibarat pakaian
satu sama lain,atas dsar ini dipergunakan kata khulu untuk mengungkapkan arti
melepaskan tali hubungan suami isteri secara majazi.
Dari rumusan khulu’ da
atas dapat disimpulkan bahwa khulu’ itu
perceraian dengan cara isteri memberikan sesuatu kepada suaminya sebagai
ganti atau imbalan atas kesediaan suami menceraikannya. Kebolehan khulu’ ini
disebutkan dalam QS. Al baqarah ayat 229,yang artinya: “tidak halal bagi kamu
mengambil kembali dari sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka,kecuali
kalau keduanya khawatir tida akan dapat menjalankan hukum-hukum allah. Jika
kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum
allah,maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yan diberikan oleh
ister untuk menebus dirinya.barangsiapa yang melanggar hukum-hukum allah mereka
itulah orang-orng yang zalim”
Ayat diatas merupakan
dasar hukum kebolehan khulu dan penerimaan ‘iwad oleh suami. Pengeambalian tebusan
oleh suami terhadap isterinya,seperti suami dalam perkawinan telah memberikan
perhiasan berharga atau telah membelikan rumah dengan diatasnamakan isteri,dsb.
Dipandang adil apabila isteri mengembalikan sebagia atau seluruh barang-barang
tersebut ketika isteri meminta cerai sementara suami masih mencintainya.
Syari’at islam menitikberatkan kepada asas keadilan dan kemaslahatan,jangan
sampai ad kemadaratan dan penipuan. Adapun dasar hukum khulu menurut
hadis,antara lain hadis riwayat al-bukhari dari ibnu abbas mengenai isteri
sabit bin qais bin syama yang bernama
jamilah datang menghadap rasulallah saw. Mengadukan perihal hubungan dirinya
dengan suaminya.peristiwa ini sebagamana dijelaskan dalam hadis berikut:
“diriwayatkan dari ibnu abbas ,bahwa isteri tsabit bin qais datang
menghadap rasulallah saw,ia berkata:ya rasulallah,saya tidak mencela akhlak dan
agama (sabit bin qais),tetapi saya membenci kekufuran (terhadap suami)dalam
islam. Jawab rasulallah saw:maukah kamumengembalikan
kebunnya?,jawabnya:mau,maka rasulallah saw bersabda:’terimalah kebun itu dan
talaqlah ia satu kali”.(H.R. al-bukhari)
Ulama dlahiriyah berpendapat,untuk sanya khulu’ isteri harus nusyuz,sebagaimana
isteri tsabit bin qais dalam hadis diatas yang meminta cerai,berarti ia nusyuz.
As-syafii,abu hanifah dan
kebanyakan fuqaha berpendapat,bahwa khulu itu sah dilakukan meskipun isteri
tidak dalam keadaan nusyuz dan khulu sah dengan saling kerelaan dalam keadaan
lurus dan’ iwad itu halal bagi suami,berdasarkan firman allah dalam surat
an-nisa ayat 4: “kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari
maskawin itu dengan senang hat,maka makanlah (ambilah) pemberian itu (sebagai
makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.
Jumhur ulama,termasuk
imam mazhab empat berpendapat bahwa apabila terjadi khulu’,maka isteri mnguasai
dirinya,ia berhak menentukan nasibnya sendiri,suami tidak boleh meruju’nya
karena ia telah mengeluarkan uang(sesuatu) untuk melepaskan diri dari suaminya.
Sekalipun suami bersedia mengembalikan tebusan isterinya,suami tetap tidak
berhak meruju’ isterinya selama masa idah. Dalam pada itu sa’ad bin musayyab
dan az-zuhri (guru imam malik) berpendapat bahwa suami berhak meruju’ isteri dengan
mengembalikan tebusannya selama masa idah dan ruju’nya harus di persaksikan.
Pendapat jumhur lebih rajih,karena kalau suami berhak meruju’ isteri maka
tebusan isteri tidak ada artinya sama sekali.
Disebutkan pula dalam pasal 97 :
1.
isteri boleh
menuntut perceraian dari suaminya denganjalan khulu’,karena sebab-sebab yang
penting.
2.
Perceraian
khulu’ dapat dijatuhkan,jika isteri membayar ‘iwad kepada suami,meskipun tidak
di depan hakim.
3. dhihar
Kata dhihar diambil dari kata “dhahrun” yang artinya punggung.
Dalam budaya arab jahiliyah,apabila suami tidak senang kepada isterinya,dia
mengatakan “anti ‘alayya ka dhahri umi” engkau bagiku seperti punggung ibuku.
dengan ucapanya ini suami bermaksud mengharamkan mensetubuhi isteri dan berakibat
menjadi haramnya isteri bagi suami untuk selamanya. Dalam kata-kata “anti
‘alayya ka dhahri umi” disamakanlah antara isteri dengan ibunya dalam hal
keharaman dittunggangi atau disetubuhi (dengan penyamaan antara punggung isteri
dengan punggung ibu).
Dari beberapa pendapat ulam tentang dhihar,dapat dirumuskan bahwa
dhihar secara istilah ialah: “ucapan kasar yang dikatakan suami kepada
isterinya dengan menyerupakan isteri itu dengan ibu atau mahram suami,dengan
ucapan itu dimaksudkan untuk mengharamkan isteri bagi suami.”
Dasra hukum dhihar ini terdapat dalam al-qur’an surat al-mujadalah
ayat 1-4 yang artinya:
“sesungguhnya allah telah mendengar perkataan wanita yang memajukan
gugatan kepada kamu tentang suaminya,dan mengadukan (halnya) kepada allah. Dan allah
mendengar soal jawab antara kamu berdua. Sesungguhnya allah maha mendengar lagi
maha melihat. Orang-orang yang menzihar isterinya di antara kamu,(menganggap
isterinya sebagai ibunya ,padahal) tiadalah isteri mereka itu ibu mereka.
Ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahikan mereka. Dan
sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu perkataan yang mungkar
dan dusta. Dan sesungguhnya allah maha pemaaf lagi maha pengampun. Barangsiapa
yang tidak mendapatkan (budak) maka (wajib atasnya) puasa dua bulan
berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka siap yang tidak kuasa (wajiblah
atasnya) memberi makan enam puluh orang miskin.demikianlah supaya kamu beriman
kepada allah dan rasulnya. Dan itulah hukumhukum allah,dan bagi orang-orang kafir
ada siksaan yang sanat pedih”.
4. fasakh
Secara etimologi
fasakh berasal dari kata al-faskh yang berarti batal atau fasid (rusak).sedangkan
secara terminologis ,sebagaiman diutarakan oleh wahbah az-zuhaili,fasakh
berarti:”batal,putus,dan lepasnya ikatan perkawinan antara suami isteri yang
disebabkan oleh (a)terjadinya kerusakan/cacat yang terjadi pada akad nikah itu
sendiri maupun oleh (b) hal-hal atau peristiwa-peristiwa yang datang kemudian
yang menyebabkan ikatan perkawinan itu tidak dapat dianjutkan.”
Di sebutkan dalam pasal 98:
1.
Atas permintaan
isteri, hakim memutuskan perkawinan dengan jalan fasakh karena alasan-alasan
sebagai berikut:
a.
Suami sakit
gila
b.
Suami sakit
kusta
c.
Suami sakit
sopak (balak)
d.
Suami menderita
penyakit kelamin
e.
Suami
miskin,tidak sanggup memberi nafkah
f.
Suami
hilan,tidak tentu hidup matinya.
Dalilnya ialah hadis
zaid bin ka’b,ia berkata: “rasulallah menikah dengan seorang perempuan dari
bani ghifar. Tatkala ia masuk kepada nabi,lalu nabi melihat disebelah rusuknya
warna putih (sopak),kemudian nabi menolak (mengembalikan) dia kepada
keluarganya.
5.
Talak
secara etimologi
kata talak berasal dari kata tolako-yutoliku-tolak yang bermakna
melepas,mengurai atau meninggalkan; melepas atau mengurangi tali pengikat,baik
tali pengikat itu riil atau maknawi seperti tal pengikat perkawinan.
Menghilangkan akad
perkawinan maksudnya mengangkat akad perkawinan sehingga setelah diangkat akad
perkawinan tersebut isteri tidaklagi halal bagi suami,seperti talak yang sudah
tiga kali. Mengurangi pelepasan ikatan perkainan maksudnya berkurangnya hak
talak yang berakibat berkurangnya pelepasan isteri,yaitu dalam talak
raj’i,karena talak raj’i mengurangi pelepasan isteri.
Menjatuhkan talak
tanpa alasan dan sebab yang di benarkan adalah termasuk perbuatan tercela dan
di benci oleh allah dan rasulallah saw. Perceraian dengan ada alasan pun
sedapat mungkin dihindarkan,hal ini seperti di jelaskan dalam hal
pecegahanterjadinya talak dengan berbagai penahapan.
Beberapa hadis yang dapat di jadikan dasar dalam menentukan
hukum talak antara lain: rasullallah bersabda:
“perbuatan halal yang dibenci allah adalah talak” (H.R. abu daud
dan ibnu umar)
Namun demikian para
ulama berbeda pendapat hukum asal dari talak,ada yang berpendapat haram tapi
ada yang mengatakan makruh.pendapat yang rjih adalah yang mengatakan bahwa
suami diharamkan menjatuhkan talak kecuali karena darurat,terpaksa yaitu dengan
alasan yang kuat dan setelah dicari jalan keluar tetapi tidak berhasil.
Terlepas dari perbedaan pendapat mengenai hukum asalnya,tapi hukum menjatuhkan
talak bisa bermacam-macam tergantung dari ada atau tidaknya alasan dan kuat
tidaknya alasan tersebut. dengan demikian talak itu hukumnya bisa
mubah,wajib,sunnat,atau haram.
Talak hukumnya mubah
atau boleh yaitu apabila memang perlu terjadi perceraian dan tidak ada
pihak-pihak yang dirugikan .
Adapun talak yang
wajib menurut ulama hambaliah yaitu,pertama: talak yang dijatuhkan oleh hakim
karena perpecahan suami isteri yang sudah sedemikian rupa. Kedua: talak wajib
dijatuhkan oleh hakim ketika suami bersumpah illa’ dan telah berlalu empat
bulan tetapi suami tidak mau kembali kepada isterinya dengan membayar kafarah.
Talak yang hukumnya sunnah yaitu dalam keadaan rumah tangga yang
sudah tidak dapat dilanjutkan dan seandainya dipertahankan juga kemadharatan
yang lebih banyak akan timbul.
Adapun talak yang
hukumnya haram ialah talak yang di jatuhkan tanpa alasan,sedangkan isteri dalam
keadaan haid atau dalam keadaan suci tetapi pada masa suci tersebut sudah di
gauli.
BABIII
PENUTUP
1.
KESIMPULAN
Dari pemaparan
di atas bisa disimpulkan bahwa penyebab yang melatar belakangi putuskan
perkawinan antara lain:
Ø Illa
Ø Khulu
Ø Fasakh
Ø Dhihar
Ø Talak
Amir syarifuddin, hukum
perkawinan islam di indonesia,cet ke-1, jakarta: prenada media, 2006
Supriatna,fatma amalia,yasin baidi,fiqh
munakahat II ,yogyakarta: bidang akademik sunan kalijaga,2008
Mahmud junus,hukum
perkawinan dalam islam,jakarta: al-hidayah jakarta,1388 H
Komentar
Posting Komentar