Langsung ke konten utama

Unggulan

QUOTES THE LAW CAFE

"Keluargamu adalah rumahmu" Kebanyakan orang berfikir, saat rumahnya mulai hancur mereka juga hancur dan tak bisa di selamatkan. Namun, bukankah keluarga hanyalah sebagiann dari hidupmu dan bukan segalanya. Ada kalanya kamu harus mencari kebahagiaanmu sendiri. Tidak peduli sebesar apa kamu mencintai keluargamu. Terkadang, kamu harus menjauh dari mereka untuk mencari jalanmu. Jika kamu tidak pergi disaat yang tepat, kamu mungkin akan merasakan penderitaan seumur hidupmu. Entah mereka keluargamu atau bukan. Jika mereka membuatmu menderita, larilah! Jangan biarkan dirimu menderita seumur hidupmu, karena orang bodoh yang tak bisa membedakan kekerasan dan cinta. --- From: The Law Cafe episode.04

Sebab-sebab putusnya hubungan perkawinan



BABI
PENDAHULUAN
1.      LATAR BELAKANG
          Pada dasarnya suami isteri harus bergaul dengan sebaik-baiknya,saling mencintai dan menyayangi.suami isteri harus bersabar apabila melihat sesuatu yang kurang berkenan atau kurang di senangi pada pasangannya,hal ini sebagaiman di sebutkan dalam QS.an-nisa ayat 19 yang artinya: “...dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka,(maka bersabarlah) kerena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu,padahal allah menjadikan pedanya kebaikan yang banyak”.
          Al-Qur’an menggambarkan beberapa situasi dalam kehidupan suami isteri yang menunjukkan adanya keretakan dalam rumah tangga yang dapat berujung pada perceraian. Keretakan dan kemelut rumah tangga tersebut bermula dari tidak berjalannya aturan yang ditetapkan allah bagi kehidupan suami isteri dalam  bentuk hak dan kewajiban yang meti dipenuhi kedua belah pihak. Al-qur’an menjelaskan beberapa usaha yang harus dilakukan menghadapi kemelut tersebut agar perceraian tidak sampai terjadi. Dengan demikian al-qur’an mengantisipasi kemungkinan terjadinya perceraian dan menempatkan perceraian itu sebagai alternatif terakhir yang tidak mungkin dihindarkan.

BABI
PEMBAHASAN
I.SEBAB-SEBAB YANG MELATARBELAKANGI PUTUSNYA HUBUNGAN PERKAWINAN
1. Nusyuz
            Nusyuz yaitu meninggalkan kewajiban suami isteri. Nusyuz secara etimologogi berarti irtifa’ yang berarti meninggi atau terangkat.[1]isteri nusyuz terhadap suami berarti isteri merasa dirinya sudah lebih tinggi kedudukanya dari suaminya,sehingga ia tidak lagi merasa berkewajiban mematuhinya. Secara definitif nusyuz diartikan dengan “kedurhakaan isteri terhadap suami dalam hal menjalnkan apa-apa yang diwajibkan Allah atasnya dan menjalankan kewajiban sebagai isteri”[2]
            Nusyuz dari pihak isteri seperti isteri meninggalkan rumah tanpa seizin suami,enggan melaksanakan kewajibannya sebagai isteri,bersikap membangkang terhada suami.terhadap isteri yang demikian ini al-Qur’an memberi petunjuk cara menormalisir keadaanya: mengembalikan kepada keduduknya sebagai isteri melalui jalan yang jelas dan dikenal dalam dunia pendidikan dan perbaikan. Mengenai caranya diserahkan kepada suami selaku pemimpin dan penanggung jawab keluarga. Dalam surat an-nisa ayat 34 di jelaskan bahwa: “wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya,maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka,dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu,maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkanya,sesungguhnya allah maha tinggi lagi maha besar”
Dari ayat diaatas ,tindakan yang dapat dilakukan suami terhadap isterinya yang nusyuz,ialah:
Pertama,bila terlihat tanda-tanda bahwa isteri akan nusyuz,suami harus memberikan peringatan dan pengajaran,nasehat dan petunjuk yang baik. Menjelaskan kepada isterinya bahwa tindakannya perbuatan dosa disisi allah,salah menurut agama dan menimbulkan risiko ia dapat kehilangan haknya. Apabila dangan pengajaran seperti itu si isteri kembali kepada keadaan semula sebagai isteri yang baik,masalah sudah terselesaikan dan tidak boleh diterukan kepada tindakan lain.
Kedua,apabila dengan cara pertama isteri tidak memperlihatkan perbaikan sikap dan secara nyata nusyuz itu telah terjadi,langkah kedua yang ditempuh suami ialah pisah tempat tidur,isteri dikucilkan dari tempat tidur dalam arti menghentikan hubungan seksual. Hijrah dalam ayat diatas bisa diartikan meninggalkan komunikasi dengan isteri. Apalgi dengan cara ini telah kembali taat,persoalan sudah trselesaikan dan tidak boleh diteruskan dengan tindakan lain.
Ketiga,jika dengan cara pisah ranjang,isteri belum memperlihatkan adanya perbaikan, ditempuh langkah ketiga, yaitu suami boleh mengambil tindakan fisik, suami boleh memukul isterinya dengan pukulan yang tidak menyakiti. pukulan dalam hal ini dalam bentuk ta’dib atau edukatif, bukan atas dasar kebencian.[3]
            Nusyuz dari pihak suami, mengandung arti pendurhakaan suami kepada allah karena meninggalkan kewajibannya kepada isteri. Nusuz suami terjadi apabila ia tidak melaksanakan kewajiban kepada isterinya,baik meninggalkan kewajibannya yang bersifat materi ,seperti nafkah atau meninggalkan kewajibanya yang bersifat non materi yaitu tidak menggauli isterinya secara mu’asyarah bil ma’ruf. Pengertiannya luas sekali ,yaitu segala sesuatu yang dapat di kategorikan mnggauli isterinya dengan cara buruk,seperti suami bersikap keras dan kasar kepada isteri,tidak mau menggauli (badaniyah) isterinya dalam waktu tertentu,dan tindakan lain yang bertentengan dengan asas pergaulan baik.[4]
            Dijelaskan dalam surat an-nisa ayat 128 yang artinya: “dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya,mka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz) ,maka sesungguhnya allah adalah maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”.
            Dari ayat diatas dapat difahami pabila suami nusyuz,dengan ciri-ciri yang telah dijelaskan atau suami yang i’rad yaitu suami berpaling dari isterinya dalam arti mulai tidak senang kepada isterinya karena sebab-sebab tertentu,isteri hendaknya brusaha mencari jalan sebaik-baiknya untuk memperlunak hati suami dan membuat keridaan suami menurut cara yang di bolehkan syara’.
2. Syiqaq
            Syiqaq mengandung arti  pertengkaran, kata ini biasanya dihubungkan kepada suami isteri ,yang berarti pertengkaran yang  terjadi diantara suami isteri yang tidak dapat diselesaikan sendiri oleh keduanya.[5] pertengkaran, perpecahan, persengketaan antara suami isteri itu sedemikian rupa seakan-akan menjadi dua belahan yang sangat sulit untuk diselesaikan sendiri oleh keduanya.
            Sebagimana dijelaskan diatas,apabila krisis yang dihadapi suami isteri sudah dicari penyelesaianya seoptimal mungkin akan tetapi tidak berhasil,maka kepada suami isteri diperkenankan untuk mengakhiri atau memutuskan ikata perkawinannya.
            Menurut hukum islam, pemutusan ikatan perkawinan dapat dilakukukan dengan beberapa cara tergantung dari pihak siapa yang berkehendak untuk memutuskan ikatan perkawinan tersebut. dalam hal ini ada empat kemungkinan:
1.      Putusnya perkawinan atas kehendak perkawinan atas kehendak suami dengan alasan tertentu dan kehendaknya itu dinyatakan melelui ucapan tertentu,atau melalui tulisan atau isyarat bagi suami yang tidak bisa bicara. Percerian bentuk ini disebut talak.perceraian yang inisiatifnya dari suami juga bisa dalam bentuk ila’ ,yaitu suami bersumpah untuk tidak menggauli isterinya dalam bentuk dhihar yaitu suami menymakan isterinya dengan ibunya dalam hal keharaman untuk digauli.ila’ dan hihar ini sebagai prolog terjadinya perceraian,dalam arti kalau dalam tempo empat bulan sesudah suami melakukan ila’ atau dhihar tidak mau kembali kepada isterinya perkawinan baru dinyatakan putus.
2.      Putusnya perkawinan atas kehendak isteri dengan alasan isteri tidak snaggup meneruskan perkawinan karena ada sesuatu yang dinilai negatif pada suamnya ,sementara suami tidak mau menceraikan isteri. Untu memutuskan perkawinannya ini isteri memberikan sesuatu materi kepada suami dan suami menyetujuinya. Bentuk percerian yang inisiatifnya dari isteri dengan cara seperti ini disebut khulu’.
3.      Putusnya perkawinan melalui putusan hakim sebagi pihak ketiga setelah melihat adanya sesuatu pada suami atau pada isteri yang menunjukkan hubungan perkwinan antara keduanya tidak dapat diteruskan. Putusnya perkawinan ni disebut fasakh.
4.      Putusnya perkawinan atas kehendak allah  yaitu salah seorang diantara suami isteri meninggal dunia. Kematian salah satu pihak dengan sendirinya berakhir pula ikatan perkawinan.
2. PENGERTIAN, DASAR HUKUM DAN KONSEKUENSI HUKUM DARI ILA’, KHULU, DHIHAR, FASAKH, TALAK
     a. illa’
       dalam hukum islam ila’ ialah : ‘sumpah suami dengan menyebut nama allah atau sifatnya yang tertuju kepada isterinya untuk tidak mendekati isterinya itu,baik secara mutlak atau dibatasi dengan ucapan selama-lamanya,atau dibatasi empat bulan atau lebih”.[6]
       Beberapa contoh ucapan ila’ yaitu suami kepada isterinya sebagi berikut:
                   “demi allah saya tidak akan mengumpuli isteriku”
       Ila’ merupakan ungkapan kasar ketidaksenangan suami kepada isterinya yang akan memberikan dampak keharmonisan hubungan suami isteri bahkan bisa berakibat berakhirnya perkawinan apabila suami tidak mau menggauli kembali isteri dengan mencabut sumpahnya. Bagaiman penyelesaiannya apabila ada suami yang meng-ila’ isterinya.
        Dalam hal ini diatur dalam firman allah surat al-baqarah ayat 226-227 yang artinya: “kepada orang-orang yang meng-ila’ isterinya,diberi tangguh empat bulan (lamanya),kemudian jika mereka kembali (kepada isterinya) maka sesungguhnya allah maha pengampun lagi maha penyayang. Dan jika mereka berazam (bertetap hati) untuk talaq,maka sesungguhnya allah maha mendengar lagi maha tahu.”
       Hukum ila’ ada dua macam, hukum ukhrawi yaitu berdosa jika tidak kembali kepada isterinya,dan hukum duniawi,yaitu berupa perceraian setelah empat bulan menunggu sejak mengucapkan ila’.
       Suami yang bersumpah meng-ila’ isterinya isuruh menunggu empat bulan. Setelah itu jika suami mencabut sumpahnya dan kembali mencampuri isterinya yang mereka sumpahi untuk ditinggalkan,maka yang demikian itu merupakan taubat dari dosa dan allah akan mengampuninya bila ditebus dengan kaffarah.dengan demikian jelaslah bahwa ila’ itu merupakan perbuatan yang dilarang karena menyiksa isteri dengan cara menjauhi dan meninggalkan sesuatu yang menjdi tabi’at kemanusiaannya.
2.  khulu’
     Menurut etimologi kata Khulu berasal dari kata khola’-yakhlu’-khulu’ yang artinya melepas,mencopot,menanggalkan.  Khulu disebut juga al-fida yaitu tebusan,karena isteri menebus dirinya dari suaminya dengan mengembalikan apa yang pernah diterimanya.[7]
     Dengan adanya tebusan itu isteri melepaskan diri dari ikatansuaminya. Dalam al Quran digambarkan bahwa hubungan suami steri  itu ibarat pakaian satu sama lain,atas dsar ini dipergunakan kata khulu untuk mengungkapkan arti melepaskan tali hubungan suami isteri secara majazi.
     Dari rumusan khulu’ da atas dapat disimpulkan bahwa khulu’ itu  perceraian dengan cara isteri memberikan sesuatu kepada suaminya sebagai ganti atau imbalan atas kesediaan suami menceraikannya. Kebolehan khulu’ ini disebutkan dalam QS. Al baqarah ayat 229,yang artinya: “tidak halal bagi kamu mengambil kembali dari sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka,kecuali kalau keduanya khawatir tida akan dapat menjalankan hukum-hukum allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum allah,maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yan diberikan oleh ister untuk menebus dirinya.barangsiapa yang melanggar hukum-hukum allah mereka itulah orang-orng yang zalim”
     Ayat diatas merupakan dasar hukum kebolehan khulu dan penerimaan ‘iwad oleh suami. Pengeambalian tebusan oleh suami terhadap isterinya,seperti suami dalam perkawinan telah memberikan perhiasan berharga atau telah membelikan rumah dengan diatasnamakan isteri,dsb. Dipandang adil apabila isteri mengembalikan sebagia atau seluruh barang-barang tersebut ketika isteri meminta cerai sementara suami masih mencintainya. Syari’at islam menitikberatkan kepada asas keadilan dan kemaslahatan,jangan sampai ad kemadaratan dan penipuan. Adapun dasar hukum khulu menurut hadis,antara lain hadis riwayat al-bukhari dari ibnu abbas mengenai isteri sabit bin qais  bin syama yang bernama jamilah datang menghadap rasulallah saw. Mengadukan perihal hubungan dirinya dengan suaminya.peristiwa ini sebagamana dijelaskan dalam hadis berikut:
“diriwayatkan dari ibnu abbas ,bahwa isteri tsabit bin qais datang menghadap rasulallah saw,ia berkata:ya rasulallah,saya tidak mencela akhlak dan agama (sabit bin qais),tetapi saya membenci kekufuran (terhadap suami)dalam islam. Jawab rasulallah saw:maukah kamumengembalikan kebunnya?,jawabnya:mau,maka rasulallah saw bersabda:’terimalah kebun itu dan talaqlah ia satu kali”.(H.R. al-bukhari)
Ulama dlahiriyah berpendapat,untuk sanya khulu’ isteri harus nusyuz,sebagaimana isteri tsabit bin qais dalam hadis diatas yang meminta cerai,berarti ia nusyuz.
     As-syafii,abu hanifah dan kebanyakan fuqaha berpendapat,bahwa khulu itu sah dilakukan meskipun isteri tidak dalam keadaan nusyuz dan khulu sah dengan saling kerelaan dalam keadaan lurus dan’ iwad itu halal bagi suami,berdasarkan firman allah dalam surat an-nisa ayat 4: “kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hat,maka makanlah (ambilah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.
     Jumhur ulama,termasuk imam mazhab empat berpendapat bahwa apabila terjadi khulu’,maka isteri mnguasai dirinya,ia berhak menentukan nasibnya sendiri,suami tidak boleh meruju’nya karena ia telah mengeluarkan uang(sesuatu) untuk melepaskan diri dari suaminya. Sekalipun suami bersedia mengembalikan tebusan isterinya,suami tetap tidak berhak meruju’ isterinya selama masa idah. Dalam pada itu sa’ad bin musayyab dan az-zuhri (guru imam malik) berpendapat bahwa suami berhak meruju’ isteri dengan mengembalikan tebusannya selama masa idah dan ruju’nya harus di persaksikan. Pendapat jumhur lebih rajih,karena kalau suami berhak meruju’ isteri maka tebusan isteri tidak ada artinya sama sekali.
Disebutkan pula dalam pasal 97 :[8]
1.      isteri boleh menuntut perceraian dari suaminya denganjalan khulu’,karena sebab-sebab yang penting.
2.      Perceraian khulu’ dapat dijatuhkan,jika isteri membayar ‘iwad kepada suami,meskipun tidak di depan hakim.
3. dhihar
Kata dhihar diambil dari kata “dhahrun” yang artinya punggung. Dalam budaya arab jahiliyah,apabila suami tidak senang kepada isterinya,dia mengatakan “anti ‘alayya ka dhahri umi” engkau bagiku seperti punggung ibuku. dengan ucapanya ini suami bermaksud mengharamkan mensetubuhi isteri dan berakibat menjadi haramnya isteri bagi suami untuk selamanya. Dalam kata-kata “anti ‘alayya ka dhahri umi” disamakanlah antara isteri dengan ibunya dalam hal keharaman dittunggangi atau disetubuhi (dengan penyamaan antara punggung isteri dengan punggung ibu).
Dari beberapa pendapat ulam tentang dhihar,dapat dirumuskan bahwa dhihar secara istilah ialah: “ucapan kasar yang dikatakan suami kepada isterinya dengan menyerupakan isteri itu dengan ibu atau mahram suami,dengan ucapan itu dimaksudkan untuk mengharamkan isteri bagi suami.”
Dasra hukum dhihar ini terdapat dalam al-qur’an surat al-mujadalah ayat 1-4 yang artinya:
“sesungguhnya allah telah mendengar perkataan wanita yang memajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya,dan mengadukan (halnya) kepada allah. Dan allah mendengar soal jawab antara kamu berdua. Sesungguhnya allah maha mendengar lagi maha melihat. Orang-orang yang menzihar isterinya di antara kamu,(menganggap isterinya sebagai ibunya ,padahal) tiadalah isteri mereka itu ibu mereka. Ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahikan mereka. Dan sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu perkataan yang mungkar dan dusta. Dan sesungguhnya allah maha pemaaf lagi maha pengampun. Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak) maka (wajib atasnya) puasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka siap yang tidak kuasa (wajiblah atasnya) memberi makan enam puluh orang miskin.demikianlah supaya kamu beriman kepada allah dan rasulnya. Dan itulah hukumhukum allah,dan bagi orang-orang kafir ada siksaan yang sanat pedih”.
4. fasakh
            Secara etimologi fasakh berasal dari kata al-faskh yang berarti batal atau fasid (rusak).sedangkan secara terminologis ,sebagaiman diutarakan oleh wahbah az-zuhaili,fasakh berarti:”batal,putus,dan lepasnya ikatan perkawinan antara suami isteri yang disebabkan oleh (a)terjadinya kerusakan/cacat yang terjadi pada akad nikah itu sendiri maupun oleh (b) hal-hal atau peristiwa-peristiwa yang datang kemudian yang menyebabkan ikatan perkawinan itu tidak dapat dianjutkan.”[9]
Di sebutkan dalam pasal 98:[10]
1.      Atas permintaan isteri, hakim memutuskan perkawinan dengan jalan fasakh karena alasan-alasan sebagai berikut:
a.       Suami sakit gila
b.      Suami sakit kusta
c.       Suami sakit sopak (balak)
d.      Suami menderita penyakit kelamin
e.       Suami miskin,tidak sanggup memberi nafkah
f.       Suami hilan,tidak tentu hidup matinya.
          Dalilnya ialah hadis zaid bin ka’b,ia berkata: “rasulallah menikah dengan seorang perempuan dari bani ghifar. Tatkala ia masuk kepada nabi,lalu nabi melihat disebelah rusuknya warna putih (sopak),kemudian nabi menolak (mengembalikan) dia kepada keluarganya.[11]
5.      Talak
          secara etimologi kata talak berasal dari kata tolako-yutoliku-tolak yang bermakna melepas,mengurai atau meninggalkan; melepas atau mengurangi tali pengikat,baik tali pengikat itu riil atau maknawi seperti tal pengikat perkawinan.
          Menghilangkan akad perkawinan maksudnya mengangkat akad perkawinan sehingga setelah diangkat akad perkawinan tersebut isteri tidaklagi halal bagi suami,seperti talak yang sudah tiga kali. Mengurangi pelepasan ikatan perkainan maksudnya berkurangnya hak talak yang berakibat berkurangnya pelepasan isteri,yaitu dalam talak raj’i,karena talak raj’i mengurangi pelepasan isteri.
          Menjatuhkan talak tanpa alasan dan sebab yang di benarkan adalah termasuk perbuatan tercela dan di benci oleh allah dan rasulallah saw. Perceraian dengan ada alasan pun sedapat mungkin dihindarkan,hal ini seperti di jelaskan dalam hal pecegahanterjadinya talak dengan berbagai penahapan.
          Beberapa hadis yang dapat di jadikan dasar dalam menentukan hukum talak antara lain: rasullallah bersabda:
“perbuatan halal yang dibenci allah adalah talak” (H.R. abu daud dan ibnu umar)
          Namun demikian para ulama berbeda pendapat hukum asal dari talak,ada yang berpendapat haram tapi ada yang mengatakan makruh.pendapat yang rjih adalah yang mengatakan bahwa suami diharamkan menjatuhkan talak kecuali karena darurat,terpaksa yaitu dengan alasan yang kuat dan setelah dicari jalan keluar tetapi tidak berhasil. Terlepas dari perbedaan pendapat mengenai hukum asalnya,tapi hukum menjatuhkan talak bisa bermacam-macam tergantung dari ada atau tidaknya alasan dan kuat tidaknya alasan tersebut. dengan demikian talak itu hukumnya bisa mubah,wajib,sunnat,atau haram.
          Talak hukumnya mubah atau boleh yaitu apabila memang perlu terjadi perceraian dan tidak ada pihak-pihak yang dirugikan .[12]
            Adapun talak yang wajib menurut ulama hambaliah yaitu,pertama: talak yang dijatuhkan oleh hakim karena perpecahan suami isteri yang sudah sedemikian rupa. Kedua: talak wajib dijatuhkan oleh hakim ketika suami bersumpah illa’ dan telah berlalu empat bulan tetapi suami tidak mau kembali kepada isterinya dengan membayar kafarah.
Talak yang hukumnya sunnah yaitu dalam keadaan rumah tangga yang sudah tidak dapat dilanjutkan dan seandainya dipertahankan juga kemadharatan yang lebih banyak akan timbul.[13]
            Adapun talak yang hukumnya haram ialah talak yang di jatuhkan tanpa alasan,sedangkan isteri dalam keadaan haid atau dalam keadaan suci tetapi pada masa suci tersebut sudah di gauli.[14]























BABIII
PENUTUP

1.      KESIMPULAN
Dari pemaparan di atas bisa disimpulkan bahwa penyebab yang melatar belakangi putuskan perkawinan antara lain:
Ø  Illa
Ø  Khulu
Ø  Fasakh
Ø  Dhihar
Ø  Talak















DAFTAR PUSTAKA
Amir syarifuddin, hukum perkawinan islam di indonesia,cet ke-1, jakarta: prenada media, 2006
Supriatna,fatma amalia,yasin baidi,fiqh munakahat II ,yogyakarta: bidang akademik sunan kalijaga,2008
Mahmud junus,hukum perkawinan dalam islam,jakarta: al-hidayah jakarta,1388 H


[1] Amir syarifuddin, hukum perkawinan islam di indonesia,cet ke-1, jakarta:prenada media,2006,hlm. 190
[2] Ibid.,hlm.191
[3] Ibid, hlm. 192
[4] Ibid,hlm. 193
[5] Ibid hlm. 194
[6]  Supriatna,fatma amalia,yasin baidi,fiqh munakahat II ,yogyakarta: bidang akademik sunan kalijaga,2008,hlm.33

[7] Supriatna,fatma amalia,yasin baidi,fiqh munakahat II ,yogyakarta: bidang akademik sunan kalijaga,2008,hlm. 47
[8] Mahmud junus,hukum perkawinan dalam islam,jakarta: al-hidayah jakarta,1388 h,hlm.131
[9] Supriatna,fatma amalia,yasin baidi,fiqh munakahat II ,yogyakarta: bidang akademik sunan kalijaga,2008,hlm.59
[10] Mahmud junus,hukum perkawinan dalam islam,jakarta: al-hidayah jakarta,1388 h,hlm. 133
[11] Ibid, hlm. 134
[12] Amir syarifuddin, hukum perkawinan islam di indonesia,cet ke-1, jakarta:prenada media,2006,hlm. 208
[13] Ibid, hlm. 201
[14] ibid

Komentar

Postingan Populer