BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Perbedaan,
pro dan kontra, selalu akan muncul dalam dinamika kehidupan. Jangankan yang
berasal manusia, yang berasal dari yang Maha Benar pun, Allah azza wa jalla,
menimbulkan pro dan kontra. Dari hasil perkiraan perhitungan penduduk dunia
berdasarkan agama, manusia di dunia ini yang bersepakat bahwa Allah itu Tuhan
mereka (Islam) hanya 22% dari 6.879.200.000 penduduk dunia.
Oleh karena itu, perbedaan adalah
sesuatu yang niscaya bagi kita, tidak bisa kita menghindari perbedaan. Allah
berfirman: “ … Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu
umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu,
maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu
semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan
itu” (QS 5:48)
Perbedaan pendapat, dalam koridor
keilmuan merupakan rahmat bagi kita, perbedaan itu akan memperkaya pengetahuan
kita, dan ini telah dibuktikan oleh ulama-ulama besar dahulu seperti para imam
syariah Hanafi, Maliki, Syafii dan Hambali, semoga Allah merahmati mereka.
Namun, yang kita sayangkan adalah perdebatan itu kadang-kadang kita melupakan
ajaran Allah yang lain, yaitu kasih sayang, tidak jarang kita lihat kata-kata
kotor meluncur begitu saja, cacian, hujatan bahkan pengkafiran begitu mudah
kita dengar. Kalau kita lihat mereka yang berdebat dengan mengabaikan akhlakul
karimah biasanya dari kalangan yang tidak kita kenal kapabilitasnya dalam ilmu,
namun begitu, celakanya, ada juga diantara mereka yang berdebat tanpa
mengindahkan etika justru dari kalangan yang kita kenal berilmu.
Betapa banyak kita menemukan
perbedaan pendapat, dari kalangan ulama sampai kalangan awam, perbedaan,
pertentangan begitu riuh rendah, kalau kita menelusur halaman – halaman di
internet, tak sedikit kita menemukan adu argumentasi yang ramai, bahkan
menjurus kasar. Sehingga bagi sebagian kita merasa kesal dengan pertentangan –
pertentangan tersebut, berbagai sikap ditunjukkan oleh kita atas perbedaan,
khususnya perbedaan pendapat di kalangan ulama, sebagian kita dalam mensikapi
perbedaan pendapat ulama, antara lain, sebagai berikut: Bingung dan kecewa
dengan para ulama. Bukankah Islam itu satu, Allah itu ahad, Nabi Muhammad itu
Nabi terakhir, dan Qur'an pun satu, lantas mengapa kok terjadi banyak perbedaan
pendapat. Andaikan ulama mau kembali kepada Al-Qur'an dan Hadis niscaya tidak
akan ada lagi perbedaan pendapat itu.
Dalam makalah ini, kita tidak
membahas hikmah di balik perbedaan tersebut, tetapi kita akan membahas kenapa
berbedaan itu muncul, dengan harapan ini akan menumbuhkan pemahaman kita
terhadap pendapat yang berbeda dengan kita. Di antara sekian banyak "asbab
al-ikhtilaf" para ulama kita akan mendapati bahwa ternyata perbedaan
pendapat itu justru karena berpegang pada Al-Qur'an dan Hadis; kita akan takjub
mendapati bahwa perbedaan itu justru terbuka karena Al-Qur'an sendiri
"menyengaja" timbulnya perbedaan itu. Kita akan temui bahwa ternyata
perbedaan pendapat, dalam titik tertentu, adalah suatu hal yang mustahil
dihapus.
b. Rumusan masalah
1. Apa yang menyebabkan terjadinya perbedaan pendapat?
2. Bagaimana cara menyikapi perbedaan
pendapat?
3. Apa hikmah terjadinya perbedaan pendapat?
c. Tujuan penulisan
1.mengetahui apa saja sebab-sebab terjadinya perbedaan
pendapat.
2. mengetahui cara
menyikapi perbedaan pendapat.
3. mengetahui hikmah terjadinya perbedaan pendapat.
d. metode penelitian
dalam penelitian ini, metode yan digunakan untuk mendapatkan
data ialah dengan searching menggunakan internet dan kajian kepustakaan ,yaitu
penelitian yang mengumpulkan data ataupun informasi dengan materi yang terdaat
dalam kepustakaan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. sebab-sebab terjadinya perbedaan
pendapat
secara
etimologis fiqhiyah, “Ikhtilaf” yang
berasal dari bahas arab yang berarti berselisih,tidak sepaham . sedangkan
menurut terminologi fiqhiyah ikhtilaf brarti perselisihan paham atau pendapat
dikalangan para ulama fiqh sebagai hasil
ijtihad untuk mendapatkan da menetapkan suatu ketentuan hukum tertentu.
Sebab-sebab terjadinya perbedaan
pendapat Dapat disimpulkan dan dikelompokkan kedalam empat sebab utama:
1. Perbedaan pendapat tentang valid -
tidaknya suatu teks dalil syar’i tertentu sebagai hujjah (tentu saja ini
tertuju kepada teks hadits, yang memang ada yang shahih dan ada yang dha’if,
dan tidak tertuju kepada teks ayat Al-Qur’an, karena seluruh ayat Al-Qur’an
disepakati valid, shahih dan bahkan mutawatir).
Adanya perbedaan dalam pengambilan
dalil dalam hadits yang bersumber dari Jasyrah binti Dajajah dari ‘Aisyah,
beliau berkata bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“……maka sesungguhnya aku tidak menghalalkan masjid bagi seorang wanita haid dan
seorang yang junub.“(HR. Abu Dawud, no. 232)
Dan dari jalan yang lain, darinya
juga dari Ummu Salamah, beliau berkata bahwa Rasululklah Shallallaahu ‘alaihi
wa sallam bersabda: “…..Sesungguhnya masjid tidak halal bagi seorang junub dan
seorang wanita haid.”(HR. Ibnu Majah, no. 645)
Aku (penulis) mengatakan: Telah
berselisih pendapat di antara para ulama dalam pengambilan dalil hadits ini
dengan perselisihan yang tajam.
Terhadap hadits yang pertama, telah
dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah, asy-Syaukaniy, dan dihasankan oleh Ibnu
Khaththan , al-Zaila’iy, dan Ibnu Sayidun Nas serta dilemahkan oleh Ibnu ar-Ruf’ah,
dan dia mengatakan perawi hadits ini matruk.
Dan di antara ulama yang mengganggap
bahwa hadits ini lemah dengan komentar yang berbeda-beda adalah al-Baihaqi,
al-Khaththabiy, al-Hafidz Ibnu Abdil Baar al-Andulusiy, al-Hafidz al-Mundziriy.
Dan al-Bukhariy mengatakan: Pada diri Jasyrah terdapat keanehan.
Adapun hadits yang kedua, dilemahkan
oleh al-Hafidz al-Bushairiy, dan Ibnu Hazm.
Syaikh al-Albaniy mengatakan: “Bahwa
dua hadits tersebut bersumber dari sanad yang sama (tidak sebagaimana yang ada,
satu bersumber dari ‘Aisyah dan yang lainnya bersumber dari Ummu Salamah –red),
sehingga dengan demikian Jasyrah binti Dajajah seorang mudhtharib (lemah dalam
meriwayatkan dan tidak kuat hafalan), suatu ketika meriwayatkan dari ‘Aisyah
dan pada saat yang lain dari Ummu Salamah. (Lihat, Tamamul Minnah, 1/4)
2. Perbedaan pendapat dalam
menginterpretasikan teks dalil syar’i tertentu. Jadi meskipun suatu dalil telah
disepakati keshahihannya, namun potensi perbedaan dan perselisihan tetap saja
terbuka lebar. Dan hal itu disebabkan karena adanya perbedaan dan perselisihan
para ulama dalam memahami, menafsirkan dan menginterpretasikannya, juga dalam
melakukan pemaduan atau pentarjihan antara dalil tersebut dan dalil-dalil lain
yang terkait.
Perbedaan
dalam menafsirkan firman Allah Subhaanahu Ta’ala yang termaktub di dalam Q.S
an-Nisa’:43 –sebagaimana tersebut sebelumnya, red-.
Ibnu Rusyd mengatakan: “Bahwa yang
menjadikan sebab al-Imam asy-Syafi’I dan Ahlu Dhahir berselisih dalam masalah
ini adalah perbedaan dalam memahami makna Q.S an-Nisa’:43, apakah makna yang
terkandung dalam ayat termasuk majas (kiasan) yaitu ada kalimat yang
tersembunyi, yaitu tempat shalat, sehingga bermakna, artinya “Hai orang-orang
yang beriman, janganlah kamu mendekati tempat shalat (masjid)” dan عَابِرِي سَبِيلٍ (sekedar
berlalu saja) merupakan pengecualian dari larangan tersebut ataukah makna yang
terkandung bukanlah makna majaz sehingga ayat tersebut bermakna berdasarkan
hakekatnya (tekstual) dan عَابِرِي سَبِيلٍ bermakna
musafir yang tidak mendapatkan air sementara dia dalam keadaan junub.
Perbedaan dalam menafsirkan firman
Allah Subhaanahu Ta’ala yang termaktub di dalam Q.S an-Nisa’:43 –sebagaimana
tersebut sebelumnya, red-.
Ibnu Rusyd mengatakan: “Bahwa yang menjadikan
sebab al-Imam asy-Syafi’I dan Ahlu Dhahir berselisih dalam masalah ini adalah
perbedaan dalam memahami makna Q.S an-Nisa’:43, apakah makna yang terkandung
dalam ayat termasuk majas (kiasan) yaitu ada kalimat yang tersembunyi, yaitu
tempat shalat, sehingga bermakna, artinya “Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu mendekati tempat shalat (masjid)” dan عَابِرِي سَبِيلٍ (sekedar
berlalu saja) merupakan pengecualian dari larangan tersebut ataukah makna yang
terkandung bukanlah makna majaz sehingga ayat tersebut bermakna berdasarkan
hakekatnya (tekstual) dan عَابِرِي سَبِيلٍ bermakna
musafir yang tidak mendapatkan air sementara dia dalam keadaan junub.
Dan bagi yang mengatakan Hamam dan
selain keduanya.
Adapun tafsir yang kedua, yang
mengatakan bahwa maksud عَابِرِي سَبِيل alah sekedar berlalu di dalam
masjid tidak bersumber dari seorangpun dari Shahabat sebagaimana yang saya
(penulis) ketahui, dan diriwayatkan dengan sanad yang lemah dari Abdullah bin
Mas’ud, Abdullah bin Abbas. Dan adapun dari kalangan Tabi’in pendapat yang
demikian dinisbatkan kepada Said bin Musyaiyib, al-Hasan al-Bashriy, Ibrahim
bin Yazid an-Nakha’iy, Zaid bin Aslam; dan diriwayatkan dengan sanad yang lemah
dari ‘Atha’, Abu ‘Ubaidah ‘Amir bin Abdullah bin
Mas’ud, Ikrimah, Said bin Zubair dan Zuhriy. Dan yang berpendapat demikian juga
al-Imam as-Safi’i.
Dan penafsiran yang demikian
dikuatkan oleh Ibnu Jarir dengan mengatakan: “Bahwa yang kuat di antara dua
penakwilan perihal ayat tersebut adalah yang mengatakan : Dan وَلاَجُنُبًا إِلاَّعَابِرِي سَبِيلٍ
bermakna sekedar berlalu di dalam masjid, karena hukum seorang musafir apabila
tidak mendapatkan air padahal dalam keadaan junub telah dijelaskan dalam
firman-Nya dalam surat al-Maidah:6
وَإِن كُنتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا وَإِن
كُنتُممَّرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَآءَ أَحَدُُ مِّنكُم مِّنَ الْغَآئِطِ أَوْ
لاَمَسْتُمُ النِّسَآءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَآءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا
بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُم مِّنْهُ
Dengan demikian dapat difahami
sekiranya عَابِرِي
سَبِيلٍ bermakna musafir, maka Allah Ta’ala tidak akan
menyebutnya kembali dalam ayat tersebut (Q.S al-Maidah: 6) sebagaimana yang
dikatakan oleh jumhur ulama’ (Lihat, Tafsir Ibnu Katsir, 1/502).
Adapun Syaikul Islam Ibnu Taimiyyah
berpendapat bahwa larangan yang terkandung di dalam ayat (Q.S an-Nisa’:34)
adalah mendirikan shalat dan mendekati tempatnya juga. (Lihat, al-Fatawa
al-Kubraa, 1/126).
3. Perbedaan pendapat tentang beberapa
kaidah ushul fiqh dan beberapa dalil (sumber) hukum syar’i (dalam
masalah-masalah yang tidak ada nash-nya) yang memang diperselisihkan di antara
para ulama, seperti qiyas, istihsan, mashalih mursalah, ’urf, saddudz-dzara-i’,
syar’u man qablana, dan lain-lain.
4. Perbedaan pendapat yang dilatar belakangi
oleh perubahan realita kehidupan, situasi, kondisi, tempat, masyarakat, dan
semacamnya. Oleh karenanya, di kalangan para ulama dikenal ungkapan bahwa,
suatu fatwa tentang hukum syar’i tertentu bisa saja berubah karena berubahnya
faktor zaman, tempat dan faktor manusia (masyarakat). Dan sebagai contoh
misalnya, dalam beberapa masalah di madzhab Imam Asy-Syafi’i rahimahullah
dikenal terdapat qaul qadiim (pendapat lama, yakni saat beliau tinggal di
Baghdad Iraq) dan qaul jadiid (pendapat baru , yakni setelah beliau tinggal di
Kairo Mesir). Begitu pula dalam madzhab Imam Ahmad rahimahullah, dikenal banyak
sekali riwayat-riwayat yang berbeda-beda dari beliau tentang hukum
masalah-masalah tertentu.
Salah satu penyebab perbedaan pendapat
atau ikhtilaf adalah diakibatkan oleh Perbedaan dalam memahami ayat al-Qur'an.
Al-Qur'an merupakan pegangan pertama semua Imam Mazhab dan ulama. Hanya saja
mereka seringkali berbeda dalam memahaminya, disebabkan:
a. Ada sebagian lafaz al-Qur'an yang
mengandung lebih dari satu arti (musytarak).
Contoh lafaz "quru" dalam
QS 2: 228. Dimana quru’ bisa berarti suci bisa juga berarti haidh. Bahkan
sebelum ayat tersebut diturunkan, kata Quru' telah dikenal oleh bangsa Arab
bahwa ia memiliki dua arti; masa suci dan masa kotor.
Bukankah Allah Swt Maha Tahu
perbedaan ini telah terjadi? Namun Allah Swt tidak mengatakan dengan Sharih apa
yang dimaksudkan dengan kata-kata Quru'. kalau Allah mau menghilangkan
perbedaan pendapat tentu saja Allah dapat memilih kata yang pasti saja, apakah
suci atau haid. Ternyata Allah memilih kata "quru" yang mngandung dua
arti secara bahasa Arab.
Ada ulama yang berpendapat bahwa
tampaknya Allah sengaja memilih kata "quru'" sehingga kita bisa
menggunakan akal kita untuk memahaminya. Ini menunjukkan bahwa Allah Swt dengan
hikmah-Nya memang menghendaki adanya perbedaan pendapat di kalangan para
mujtahid dalam masalah ini.
Akibat perbedaan lafaz
"quru" ini, sebagian sahabat (Ibnu Mas'ud dan Umar) memandang bahwa
manakala perempuan itu sudah mandi dari haidnya yg ketiga, maka baru selesai
iddahnya. Zaid bin Tsabit, sahabat nabi yg lain, memandang bahwa dengan
datangnya masa haid yang ketiga perempuan itu selesai haidnya (meskipun belum
mandi). Lihatlah, bahkan para sahabat Nabi pun berbeda pendapat dalam hal ini.
b. Susunan ayat Al-Qur'an membuka
peluang terjadinya perbedaan pendapat Huruf "fa", "waw",
"aw", "illa", "hatta" dan lainnya mengandung
banyak fungsi tergantung konteksnya.
Sebagai contoh, huruf "FA"
dalam QS 2:226-227 mengandung dua fungsi. Sebagian memandang huruf
"FA" itu berfungsi "li tartib dzikri" (susunan dalam tutur
kata). Sebagian lagi berpendapat bahwa huruf "FA" dalam ayat di atas
berfungsi "li tartib haqiqi" (susunan menurut kenyataan). Walhasil
kelompok pertama berpendapat bahwa suami setelah 'ila (melakukan sumpah untuk
tidak campur dengan isteri), harus campur dengan isteri sebelum empat bulan,
kalau sudah lewat empat bulan maka jatuh talak. Kelompok kedua berpendapat
bahwa tuntutan supaya campur dengan isteri (untuk menghindari jatuhnya talaq)
itu setelah lewat empat bulan.
c. Perbedaan memandang lafaz 'am -
khas, mujmal-mubayyan, mutlak-muqayyad, dan nasikh-mansukh.
Lafaz al-Qur'an adakalanya mengandung
makna umum ('am) sehingga membutuhkan ayat atau hadis untuk mengkhususkan
maknanya. Kadang kala tak ditemui qarinah (atau petunjuk) untuk
mengkhususkannya, bahkan ditemui (misalnya setelah melacak asbabun nuzulnya)
bahwa lafaz itu memang am tapi ternyata yang dimaksud adalah khusus (lafzh 'am
yuradu bihi al-khushush). Boleh jadi sebaliknya, lafaznya umum tapi yang
dimaksud adalah khusus (lafzh khas yuradu bihi al-'umum). Contoh yang pertama,
Qs at-Taubah ayat 103 terdapat kata "amwal" (harta) akan tetapi tidak
semua harta terkena kewajiban zakat (makna umum harta telah dikhususkan kedalam
beberapa jenis harta saja). Contoh yang kedua, dalam QS al-Isra: 23 disebutkan
larangan untuk mengucapkan "ah" pada kedua orangtua. Kekhususan untuk
mengucapkan "ah" itu diumumkan bahwa perbuatan lain yang juga menyakiti
orang tua termasuk ke dalam larangan ini (misalnya memukul, dan sebagainya).
Dan persoalannya, dalam kasus lain
para ulama berbeda memandang satu ayat sebagai berikut:
Ø lafaz umum dan memang maksudnya untuk
umum, atau
Ø lafaz umum tetapi maksudnya untuk khusus; dan
Ø lafaz khusus dan memang maksudnya
khusus; atau
Ø lafaz khusus tetapi maksudnya umum.
Begitu juga perbedaan soal
mujmal-mubayyan, mutlak-muqayyad, nasikh-mansukh, para ulama memiliki kaidah
yang mereka ambil dalam rangka untuk memahaminya (saya khawatir pembahasan ini
malah menjadi sangat tekhnis, karena itu untuk jelasnya silahkan merujuk ke
buku-buku ushul al-fiqh).
d. Perbedaan dalam memahami lafaz
perintah dan larangan.
Ketika ada suatu lafaz berbentuk
"amr" (perintah) para ulama mengambil tiga kemungkinan:
Ø al-aslu fil amri lil wujub : (dasar
"perintah" itu adalah wajib untuk dilakukan)
Ø al-aslu fil amri li an-nadab : (dasar
"perintah" itu adalah sunnah untuk dilakukan)
Ø al-aslu fil amri lil ibahah : (dasar
"perintah" itu adalah mubah untuk dilakukan)
Contohnya lafaz "kulluu
wasyrabuu" (makan dan minumlah) menggunakan bentuk perintah, tetapi yang
dimaksud adalah mubah. Lafaz "fankihuu maa thaba lakum minn nisa"
(nikahilah wanita-wanita yang kamu sukai) juga menggunakan bentuk perintah.
Para ulama ada yang memandang bahwa itu adalah wajib (mazhab Zhahiri), dan ada
yang memandang sunnah (jumhur ulama).
Perbedaan pendapat ketika masa
sahabat juga sudah terjadi,saat itu perbedaan pendapat pendapat dianggap suatu
hal yag wajar dan perlu dikembangkan , tidak ada sahabat yang memaksakan
pendapatnya kepada orang lain.
B. Cara Menyikapi Ikhtilaf
1. Membekali diri dan mendasari sikap
sebaik-baiknya dengan ilmu, iman, amal dan akhlaq secara proporsional. Karena
tanpa pemaduan itu semua, akan sangat sulit sekali bagi seseorang untuk bisa
menyikapi setiap masalah dengan benar, tepat dan proporsional, apalagi jika itu
masalah ikhtilaf atau khilafiyah.
2. Memfokuskan dan lebih memprioritaskan
perhatian dan kepedulian terhadap masalah-masalah besar ummat, daripada perhatian
terhadap masalah-masalah kecil seperti masalah-masalah khilafiyah misalnya.
Karena tanpa sikap dasar seperti itu, biasanya seseorang akan cenderung ghuluw
(berlebih-lebihan) dan tatharruf (ekstrem) dalam menyikapi setiap masalah
khilafiyah yang ada.
3. Memahami ikhtilaf dengan benar, mengakui
dan menerimanya sebagai bagian dari rahmat Allah bagi umat. Dan ini adalah
salah satu bagian dari ittibaa’us-salaf (mengikuti ulama salaf), karena memang
begitulah sikap mereka, yang kemudian diikuti dan dilanjutkan oleh para ulama
ahlus-sunnah wal-jama’ah sepanjang sejarah. Dan dalam konteks ini mungkin perlu
diingatkan bahwa, nash (teks) ungkapan yang selama dikenal luas sebagai hadits,
yakni yang berbunyi: Ikhtilafu ummati rahmatu (perselisihan umatku adalah
rahmat), bukanlah shahih sebagai hadits Nabi shallallahu ’alaihi wasallam.
Karenanya bukanlah ”hadits” tersebut yang menjadi dasar sikap penerimaan
ikhtilaf sebagai rahmat bagi umat itu. Namun dasarnya adalah warisan sikap dari
para ulama salaf dan khalaf yang hampir sepakat dalam masalah ini.
Sampai-sampai ada ulama yang menulis kitab dengan judul: Rahmatul Ummah
Fi-khtilafil Aimmah (Rahmat bagi Umat dalam perbedaan pendapat para imam).
4. Memadukan dalam mewarisi ikhtilaf para
ulama terdahulu dengan sekaligus mewarisi etika dan sikap mereka dalam
ber-ikhtilaf. Sehingga dengan begitu kita bisa memiliki sikap yang tawazun
(proporsional). Sementara selama ini sikap kebanyakan kaum muslimin dalam
masalah-masalah khilafiyah, seringkali lebih dominan timpangnya. Karena
biasanya mereka hanya mewarisi materi-materi khilafiyah para imam terdahulu,
dan tidak sekaligus mewarisi cara, adab dan etika mereka dalam ber-ikhtilaf,
serta dalam menyikapi para mukhalif (kelompok lain yang berbeda madzhab atau
pendapat).
5. Mengikuti pendapat (ittiba’) ulama dengan
mengetahui dalilnya, atau memilih pendapat yang rajih (kuat) setelah mengkaji
dan membandingkan berdasarkan metodologi (manhaj) ilmiah yang diakui. Tentu
saja ini bagi yang mampu, baik dari kalangan para ulama maupun para
thullaabul-’ilmisy-syar’i (para penuntut ilmu syar’i). Sedangkan untuk kaum
muslimin kebanyakan yang awam, maka batas kemampuan mereka hanyalah ber-taqlid
(mengikuti tanpa tahu dalil) saja pada para imam terpercaya atau ulama yang
diakui kredibelitas dan kapabelitasnya. Yang penting dalam ber-taqlid pada
siapa saja yang dipilih, mereka melakukannya dengan tulus dan ikhlas, serta
tidak berdasarkan hawa nafsu.
6. Untuk praktek pribadi, dan dalam
masalah-masalah yang bisa bersifat personal individual, maka masing-masing
berhak untuk mengikuti dan memgamalkan pendapat atau madzhab yang rajih (yang
kuat) menurut pilihannya. Meskipun dalam beberapa hal dan kondisi sangat afdhal
pula jika ia memilih sikap yang lebih berhati-hati (ihtiyath) dalam rangka
menghindari ikhtilaf (sesuai dengan kaidah ”al-khuruj minal khilaf mustahabb” –
keluar dari wilayah khilaf adalah sangat dianjurkan).
7. Sementara itu terhadap orang lain atau
dalam hal-hal yang terkait dengan kemaslahatan umum, sangat diutamakan setiap
kita memilih sikap melonggarkan dan bertoleransi (tausi’ah & tasamuh). Atau dengan kata lain, jika kaidah
dan sikap dasar dalam masalah-masalah khilafiyah yang bersifat personal
individual, adalah melaksanakan yang rajih menurut pilihan masing-masing kita.
Maka kaidah dan sikap dasar dalam masalah-masalah khilafiyah yang bersifat
kebersamaan, kemasyarakatan, kejamaahan dan keummatan, adalah dengan
mengedepankan sikap toleransi dan kompromi, termasuk sampai pada tahap kesiapan
untuk mengikuti dan melaksanakan pendapat atau madzhab lain yang marjuh (yang
lemah) sekalipun menurut kita.
8. Menghindari sikap ghuluw
(berlebih-lebihan) atau tatharruf (ekstrem), misalnya dengan memiliki sikap
mutlak-mutlakan atau menang-menangan dalam masalah-masalah furu’ khilafiyah
ijtihadiyah. Karena itu adalah sikap yang tidak logis, tidak islami, tidak
syar’i dan tentu sekaligus tidak salafi (tidak sesuai dengan manhaj dan sikap
para ulama salaf).
9. Tetap mengutamakan dan mengedepankan
masalah-masalah prinsip yang telah disepakati atas masalah-masalah furu’ yang
diperselisihkan. Atau dengan kata lain, kita wajib selalu mengutamakan dan
mendahulukan masalah-masalah ijma’ atas masalah-masalah khilafiyah.
10.
Tidak menerapkan prinsip atau kaidah wala’ dan bara’ dalam bersikap
terhadap fenomena ikhtilaf yang terjadi
dalam masalah-masalah furu’ ijtihadiyah. Karena bab wala’ dan bara’
bukanlah di sini tempatnya, melainkan di dalam masalah-masalah aqidah, tauhid
dan keimanan, atau dalam masalah-masalah ushul (prinsip) pada umumnya.
11.
Menjadikan masalah-masalah ushul (prinsip) yang disepakati
(masalah-masalah ijma’) dan bukan masalah-masalah furu’ ijtihadiyah
(masalah-masalah khilafiyah) sebagai standar dan parameter komitmen dan
ke-istiqamahan seorang muslim. Jadi tidak dibenarkan misalnya kita menilai
seseorang itu istiqamah atau tidak dan komit atau tidak, berdasarkan standar
masalah-masalah khilafiyah. Sehingga misalnya akan dinilai istiqamah dan komit
jika ia mengikuti madzhab atau pendapat tertentu, sementara akan dinilai tidak
istiqamah dan tidak komit jika menganut madzhab atau pendapat yang lain. Begitu
pula misalnya akan dinilai istiqamah dan komit jika ia selalu berpegang teguh
melaksanakan pendapat dan madzhab pilihannya serta tidak mau berubah sama
sekali dalam kondisi apapaun. Sedangkan jika ia dalam kondisi-kondisi tertentu
bertoleransi dan berkompromi dengan pendapat dan madzhab lain, maka akan
dinilai sebagai orang plin-plan, tidak berpendirian, dan tidak istiqamah.
Tidak. Itu semua tidak benar. Bahkan yang benar adalah bahwa, siapapun yang
menjalankan ajaran Islam sesuai standar batasan prinsip, maka ia adalah orang
Islam yang istiqamah dan komit, apapun madzhab atau pendapat di antara
madzhab-madzhab atau pendapat-pendapat ulama mu’tabar, yang diikuti dan
dianutnya. Dan demikian pula sikap bertoleransi dan berkompromi sesuai kaidah
dalam masalah-masalah khilafiyah ijtihadiyah adalah merupakan bagian dari
bentuk dan bukti komitmen dan keistiqamahan itu sendiri.
12.
Menjaga agar ikhtilaf (perbedaan) dalam masalah-masalah furu’
ijtihadiyah tetap berada di wilayah wacana pemikiran dan wawasan keilmuan, dan
tidak masuk ke wilayah hati, sehingga berubah mejadi perselisihan perpecahan
(ikhtilafut- tafarruq), yang akan merusak ukhuwah dan melemahkan tsiqoh (rasa
kepercayaan) di antara sesama kaum mukminin.
13.
Menyikapi orang lain, kelompok lain atau penganut madzhab lain sesuai
kaidah berikut ini: Perlakukan dan sikapilah orang lain, kelompok lain dan
penganut madzhab lain sebagaimana engkau, kelompok dan madzhabmu ingin
diperlakukan dan disikapi. Serta janganlah memperlakukan dan menyikapi orang
lain, kelompok lain dan pengikut madzhab lain dengan perlakuan dan penyikapan
yang tidak engkau inginkan dan tidak engkau sukai untuk dirimu, kelompokmu atau
madzhabmu.
Perbedaan pendapat mengenai
masalah-masalah yang ada dalam fiqih harus disikapi dengan arif dan bijaksana.
Kita tidak boleh bersikap apriori denan langsung menyalah-kan satu pendapat dan
membenarkan pendapat lainnya. Sikap apriori yang semaam ini dapat memicu
terjadinya perpecahan dikalangan umat. Masalah yang biasannya menimbulkan
perbadaan pendapat dalam fiqih adalah masalah furu’iyah (cabang). Bukan masalah
pokok. Oleh karena itu,mempertajam pertentnagan atau perbedaan pendapat alam
masalah cabang ini hanyalah membuang-buang waktu dan energi.
Diantara imam madzhab sendiri tidak
ada satupun yang merasa pendapatnya paling benar. Mereka tidak slaing
menyalahkan ,apalagi menjatuhan, bahkan diantara mereka tidak ada yang menyuruh
orang untuk hanya mengikuti pendapat madzhabnya,karena mereka menyadari bahwa
mereka hanalah manusia biasa tidak luput dari kesalahan dan lupa. Imam malik
pernah berkata: “saya ini tidak lain ,melainkan manusia biasa. Saya boleh jadi
salah dan boleh jadi benar. Maka lhatlah dan pikirkanlah baik-baik pendapat
saya. Apabila sesuai dengan kitab Al-Qur’an dan sunnah,maka ambillah ia dan jik
tidah sesuai dengan kitab dan sunnah,maka tinggalkanlah ia.
C. Hikmah Adanya Ikhtilaf
Ikhtilaf yang mengikuti
ketentuan-ketentuan akan memberikan manfaat, jika didasarkan pada beberapa hal
berikut yaitu :
1. Niatnya jujur dan menyadari akan tanggung
jawab bersama. Ini bisa dijadikan salah satu dalil dari sekian banyak model
dalil.
2. Ikhtilaf itu digunakan untuk mengasah otak
dan untuk memperluas cakrawala berpikir.
3. Memberikan kesempatan berbicarakepada
lawan bicara atau pihak lain yang berbeda pendapat dan bermua’malah dengan
manusia lainnya yang menyangkut kehidupan diseputar mereka.
BAB III
PENUTUP
A. kesimpulan
Sebab-sebab terjadinya perbedaan
pendapat Dapat disimpulkan dan dikelompokkan kedalam empat sebab utama:
Ø Perbedaan pendapat tentang valid -
tidaknya suatu teks dalil syar’i tertentu.
Ø Perbedaan pendapat dalam
menginterpretasikan teks dalil syar’i tertentu.
Ø Perbedaan pendapat tentang beberapa
kaidah ushul fiqh dan beberapa dalil (sumber) hukum syar’i.
Ø Perbedaan pendapat yang dilatar
belakangi oleh perubahan realita kehidupan, situasi, kondisi, tempat,
masyarakat, dan semacamnya.
Komentar
Posting Komentar