Langsung ke konten utama

Unggulan

QUOTES THE LAW CAFE

"Keluargamu adalah rumahmu" Kebanyakan orang berfikir, saat rumahnya mulai hancur mereka juga hancur dan tak bisa di selamatkan. Namun, bukankah keluarga hanyalah sebagiann dari hidupmu dan bukan segalanya. Ada kalanya kamu harus mencari kebahagiaanmu sendiri. Tidak peduli sebesar apa kamu mencintai keluargamu. Terkadang, kamu harus menjauh dari mereka untuk mencari jalanmu. Jika kamu tidak pergi disaat yang tepat, kamu mungkin akan merasakan penderitaan seumur hidupmu. Entah mereka keluargamu atau bukan. Jika mereka membuatmu menderita, larilah! Jangan biarkan dirimu menderita seumur hidupmu, karena orang bodoh yang tak bisa membedakan kekerasan dan cinta. --- From: The Law Cafe episode.04

Sebab-sebab perbedaan pendapat



BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar belakang
            Perbedaan, pro dan kontra, selalu akan muncul dalam dinamika kehidupan. Jangankan yang berasal manusia, yang berasal dari yang Maha Benar pun, Allah azza wa jalla, menimbulkan pro dan kontra. Dari hasil perkiraan perhitungan penduduk dunia berdasarkan agama, manusia di dunia ini yang bersepakat bahwa Allah itu Tuhan mereka (Islam) hanya 22% dari 6.879.200.000 penduduk dunia.
Oleh karena itu, perbedaan adalah sesuatu yang niscaya bagi kita, tidak bisa kita menghindari perbedaan. Allah berfirman: “ … Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu” (QS 5:48)
Perbedaan pendapat, dalam koridor keilmuan merupakan rahmat bagi kita, perbedaan itu akan memperkaya pengetahuan kita, dan ini telah dibuktikan oleh ulama-ulama besar dahulu seperti para imam syariah Hanafi, Maliki, Syafii dan Hambali, semoga Allah merahmati mereka. Namun, yang kita sayangkan adalah perdebatan itu kadang-kadang kita melupakan ajaran Allah yang lain, yaitu kasih sayang, tidak jarang kita lihat kata-kata kotor meluncur begitu saja, cacian, hujatan bahkan pengkafiran begitu mudah kita dengar. Kalau kita lihat mereka yang berdebat dengan mengabaikan akhlakul karimah biasanya dari kalangan yang tidak kita kenal kapabilitasnya dalam ilmu, namun begitu, celakanya, ada juga diantara mereka yang berdebat tanpa mengindahkan etika justru dari kalangan yang kita kenal berilmu.
Betapa banyak kita menemukan perbedaan pendapat, dari kalangan ulama sampai kalangan awam, perbedaan, pertentangan begitu riuh rendah, kalau kita menelusur halaman – halaman di internet, tak sedikit kita menemukan adu argumentasi yang ramai, bahkan menjurus kasar. Sehingga bagi sebagian kita merasa kesal dengan pertentangan – pertentangan tersebut, berbagai sikap ditunjukkan oleh kita atas perbedaan, khususnya perbedaan pendapat di kalangan ulama, sebagian kita dalam mensikapi perbedaan pendapat ulama, antara lain, sebagai berikut: Bingung dan kecewa dengan para ulama. Bukankah Islam itu satu, Allah itu ahad, Nabi Muhammad itu Nabi terakhir, dan Qur'an pun satu, lantas mengapa kok terjadi banyak perbedaan pendapat. Andaikan ulama mau kembali kepada Al-Qur'an dan Hadis niscaya tidak akan ada lagi perbedaan pendapat itu.
Dalam makalah ini, kita tidak membahas hikmah di balik perbedaan tersebut, tetapi kita akan membahas kenapa berbedaan itu muncul, dengan harapan ini akan menumbuhkan pemahaman kita terhadap pendapat yang berbeda dengan kita. Di antara sekian banyak "asbab al-ikhtilaf" para ulama kita akan mendapati bahwa ternyata perbedaan pendapat itu justru karena berpegang pada Al-Qur'an dan Hadis; kita akan takjub mendapati bahwa perbedaan itu justru terbuka karena Al-Qur'an sendiri "menyengaja" timbulnya perbedaan itu. Kita akan temui bahwa ternyata perbedaan pendapat, dalam titik tertentu, adalah suatu hal yang mustahil dihapus.
b.      Rumusan masalah   
1.      Apa yang menyebabkan  terjadinya perbedaan pendapat?
2.      Bagaimana cara menyikapi perbedaan pendapat?
3.      Apa hikmah  terjadinya perbedaan pendapat?   
c.       Tujuan penulisan
1.mengetahui apa saja sebab-sebab terjadinya perbedaan pendapat.
2. mengetahui  cara menyikapi perbedaan pendapat.
3. mengetahui hikmah terjadinya perbedaan pendapat.

d.      metode penelitian
dalam penelitian ini, metode yan digunakan untuk mendapatkan data ialah dengan searching menggunakan internet dan kajian kepustakaan ,yaitu penelitian yang mengumpulkan data ataupun informasi dengan materi yang terdaat dalam kepustakaan.

BAB II
PEMBAHASAN

A.      sebab-sebab terjadinya perbedaan pendapat
            secara etimologis fiqhiyah, “Ikhtilaf”  yang berasal dari bahas arab yang berarti berselisih,tidak sepaham . sedangkan menurut terminologi fiqhiyah ikhtilaf brarti perselisihan paham atau pendapat dikalangan para ulama fiqh  sebagai hasil ijtihad untuk mendapatkan da menetapkan suatu ketentuan hukum tertentu.[1]
Sebab-sebab terjadinya perbedaan pendapat Dapat disimpulkan dan dikelompokkan kedalam empat sebab utama:[2]
1.      Perbedaan pendapat tentang valid - tidaknya suatu teks dalil syar’i tertentu sebagai hujjah (tentu saja ini tertuju kepada teks hadits, yang memang ada yang shahih dan ada yang dha’if, dan tidak tertuju kepada teks ayat Al-Qur’an, karena seluruh ayat Al-Qur’an disepakati valid, shahih dan bahkan mutawatir).
Adanya perbedaan dalam pengambilan dalil dalam hadits yang bersumber dari Jasyrah binti Dajajah dari ‘Aisyah, beliau berkata bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “……maka sesungguhnya aku tidak menghalalkan masjid bagi seorang wanita haid dan seorang yang junub.“(HR. Abu Dawud, no. 232)
Dan dari jalan yang lain, darinya juga dari Ummu Salamah, beliau berkata bahwa Rasululklah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “…..Sesungguhnya masjid tidak halal bagi seorang junub dan seorang wanita haid.”(HR. Ibnu Majah, no. 645)
Aku (penulis) mengatakan: Telah berselisih pendapat di antara para ulama dalam pengambilan dalil hadits ini dengan perselisihan yang tajam.
Terhadap hadits yang pertama, telah dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah, asy-Syaukaniy, dan dihasankan oleh Ibnu Khaththan , al-Zaila’iy, dan Ibnu Sayidun Nas serta dilemahkan oleh Ibnu ar-Ruf’ah, dan dia mengatakan perawi hadits ini matruk.
Dan di antara ulama yang mengganggap bahwa hadits ini lemah dengan komentar yang berbeda-beda adalah al-Baihaqi, al-Khaththabiy, al-Hafidz Ibnu Abdil Baar al-Andulusiy, al-Hafidz al-Mundziriy. Dan al-Bukhariy mengatakan: Pada diri Jasyrah terdapat keanehan.
Adapun hadits yang kedua, dilemahkan oleh al-Hafidz al-Bushairiy, dan Ibnu Hazm.
Syaikh al-Albaniy mengatakan: “Bahwa dua hadits tersebut bersumber dari sanad yang sama (tidak sebagaimana yang ada, satu bersumber dari ‘Aisyah dan yang lainnya bersumber dari Ummu Salamah –red), sehingga dengan demikian Jasyrah binti Dajajah seorang mudhtharib (lemah dalam meriwayatkan dan tidak kuat hafalan), suatu ketika meriwayatkan dari ‘Aisyah dan pada saat yang lain dari Ummu Salamah. (Lihat, Tamamul Minnah, 1/4)[3]
2.      Perbedaan pendapat dalam menginterpretasikan teks dalil syar’i tertentu. Jadi meskipun suatu dalil telah disepakati keshahihannya, namun potensi perbedaan dan perselisihan tetap saja terbuka lebar. Dan hal itu disebabkan karena adanya perbedaan dan perselisihan para ulama dalam memahami, menafsirkan dan menginterpretasikannya, juga dalam melakukan pemaduan atau pentarjihan antara dalil tersebut dan dalil-dalil lain yang terkait.
            Perbedaan dalam menafsirkan firman Allah Subhaanahu Ta’ala yang termaktub di dalam Q.S an-Nisa’:43 –sebagaimana tersebut sebelumnya, red-.
Ibnu Rusyd mengatakan: “Bahwa yang menjadikan sebab al-Imam asy-Syafi’I dan Ahlu Dhahir berselisih dalam masalah ini adalah perbedaan dalam memahami makna Q.S an-Nisa’:43, apakah makna yang terkandung dalam ayat termasuk majas (kiasan) yaitu ada kalimat yang tersembunyi, yaitu tempat shalat, sehingga bermakna, artinya “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendekati tempat shalat (masjid)” dan عَابِرِي سَبِيلٍ (sekedar berlalu saja) merupakan pengecualian dari larangan tersebut ataukah makna yang terkandung bukanlah makna majaz sehingga ayat tersebut bermakna berdasarkan hakekatnya (tekstual) dan عَابِرِي سَبِيلٍ bermakna musafir yang tidak mendapatkan air sementara dia dalam keadaan junub.
Perbedaan dalam menafsirkan firman Allah Subhaanahu Ta’ala yang termaktub di dalam Q.S an-Nisa’:43 –sebagaimana tersebut sebelumnya, red-.
Ibnu Rusyd mengatakan: “Bahwa yang menjadikan sebab al-Imam asy-Syafi’I dan Ahlu Dhahir berselisih dalam masalah ini adalah perbedaan dalam memahami makna Q.S an-Nisa’:43, apakah makna yang terkandung dalam ayat termasuk majas (kiasan) yaitu ada kalimat yang tersembunyi, yaitu tempat shalat, sehingga bermakna, artinya “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendekati tempat shalat (masjid)” dan عَابِرِي سَبِيلٍ (sekedar berlalu saja) merupakan pengecualian dari larangan tersebut ataukah makna yang terkandung bukanlah makna majaz sehingga ayat tersebut bermakna berdasarkan hakekatnya (tekstual) dan عَابِرِي سَبِيلٍ bermakna musafir yang tidak mendapatkan air sementara dia dalam keadaan junub.
Dan bagi yang mengatakan Hamam dan selain keduanya.
Adapun tafsir yang kedua, yang mengatakan bahwa maksud عَابِرِي سَبِيل alah sekedar berlalu di dalam masjid tidak bersumber dari seorangpun dari Shahabat sebagaimana yang saya (penulis) ketahui, dan diriwayatkan dengan sanad yang lemah dari Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Abbas. Dan adapun dari kalangan Tabi’in pendapat yang demikian dinisbatkan kepada Said bin Musyaiyib, al-Hasan al-Bashriy, Ibrahim bin Yazid an-Nakha’iy, Zaid bin Aslam; dan diriwayatkan dengan sanad yang lemah dari ‘Atha’, Abu ‘Ubaidah Amir bin Abdullah bin Mas’ud, Ikrimah, Said bin Zubair dan Zuhriy. Dan yang berpendapat demikian juga al-Imam as-Safi’i.
Dan penafsiran yang demikian dikuatkan oleh Ibnu Jarir dengan mengatakan: “Bahwa yang kuat di antara dua penakwilan perihal ayat tersebut adalah yang mengatakan : Dan وَلاَجُنُبًا إِلاَّعَابِرِي سَبِيلٍ bermakna sekedar berlalu di dalam masjid, karena hukum seorang musafir apabila tidak mendapatkan air padahal dalam keadaan junub telah dijelaskan dalam firman-Nya dalam surat al-Maidah:6
وَإِن كُنتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا وَإِن كُنتُممَّرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَآءَ أَحَدُُ مِّنكُم مِّنَ الْغَآئِطِ أَوْ لاَمَسْتُمُ النِّسَآءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَآءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُم مِّنْهُ
Dengan demikian dapat difahami sekiranya عَابِرِي سَبِيلٍ bermakna musafir, maka Allah Ta’ala tidak akan menyebutnya kembali dalam ayat tersebut (Q.S al-Maidah: 6) sebagaimana yang dikatakan oleh jumhur ulama’ (Lihat, Tafsir Ibnu Katsir, 1/502).
Adapun Syaikul Islam Ibnu Taimiyyah berpendapat bahwa larangan yang terkandung di dalam ayat (Q.S an-Nisa’:34) adalah mendirikan shalat dan mendekati tempatnya juga. (Lihat, al-Fatawa al-Kubraa, 1/126).
3.      Perbedaan pendapat tentang beberapa kaidah ushul fiqh dan beberapa dalil (sumber) hukum syar’i (dalam masalah-masalah yang tidak ada nash-nya) yang memang diperselisihkan di antara para ulama, seperti qiyas, istihsan, mashalih mursalah, ’urf, saddudz-dzara-i’, syar’u man qablana, dan lain-lain.
4.      Perbedaan pendapat yang dilatar belakangi oleh perubahan realita kehidupan, situasi, kondisi, tempat, masyarakat, dan semacamnya. Oleh karenanya, di kalangan para ulama dikenal ungkapan bahwa, suatu fatwa tentang hukum syar’i tertentu bisa saja berubah karena berubahnya faktor zaman, tempat dan faktor manusia (masyarakat). Dan sebagai contoh misalnya, dalam beberapa masalah di madzhab Imam Asy-Syafi’i rahimahullah dikenal terdapat qaul qadiim (pendapat lama, yakni saat beliau tinggal di Baghdad Iraq) dan qaul jadiid (pendapat baru , yakni setelah beliau tinggal di Kairo Mesir). Begitu pula dalam madzhab Imam Ahmad rahimahullah, dikenal banyak sekali riwayat-riwayat yang berbeda-beda dari beliau tentang hukum masalah-masalah tertentu.
Salah satu penyebab perbedaan pendapat atau ikhtilaf adalah diakibatkan oleh Perbedaan dalam memahami ayat al-Qur'an. Al-Qur'an merupakan pegangan pertama semua Imam Mazhab dan ulama. Hanya saja mereka seringkali berbeda dalam memahaminya, disebabkan:
a. Ada sebagian lafaz al-Qur'an yang mengandung lebih dari satu arti (musytarak).
Contoh lafaz "quru" dalam QS 2: 228. Dimana quru’ bisa berarti suci bisa juga berarti haidh. Bahkan sebelum ayat tersebut diturunkan, kata Quru' telah dikenal oleh bangsa Arab bahwa ia memiliki dua arti; masa suci dan masa kotor.
Bukankah Allah Swt Maha Tahu perbedaan ini telah terjadi? Namun Allah Swt tidak mengatakan dengan Sharih apa yang dimaksudkan dengan kata-kata Quru'. kalau Allah mau menghilangkan perbedaan pendapat tentu saja Allah dapat memilih kata yang pasti saja, apakah suci atau haid. Ternyata Allah memilih kata "quru" yang mngandung dua arti secara bahasa Arab.
Ada ulama yang berpendapat bahwa tampaknya Allah sengaja memilih kata "quru'" sehingga kita bisa menggunakan akal kita untuk memahaminya. Ini menunjukkan bahwa Allah Swt dengan hikmah-Nya memang menghendaki adanya perbedaan pendapat di kalangan para mujtahid dalam masalah ini.
Akibat perbedaan lafaz "quru" ini, sebagian sahabat (Ibnu Mas'ud dan Umar) memandang bahwa manakala perempuan itu sudah mandi dari haidnya yg ketiga, maka baru selesai iddahnya. Zaid bin Tsabit, sahabat nabi yg lain, memandang bahwa dengan datangnya masa haid yang ketiga perempuan itu selesai haidnya (meskipun belum mandi). Lihatlah, bahkan para sahabat Nabi pun berbeda pendapat dalam hal ini.
b. Susunan ayat Al-Qur'an membuka peluang terjadinya perbedaan pendapat Huruf "fa", "waw", "aw", "illa", "hatta" dan lainnya mengandung banyak fungsi tergantung konteksnya.
Sebagai contoh, huruf "FA" dalam QS 2:226-227 mengandung dua fungsi. Sebagian memandang huruf "FA" itu berfungsi "li tartib dzikri" (susunan dalam tutur kata). Sebagian lagi berpendapat bahwa huruf "FA" dalam ayat di atas berfungsi "li tartib haqiqi" (susunan menurut kenyataan). Walhasil kelompok pertama berpendapat bahwa suami setelah 'ila (melakukan sumpah untuk tidak campur dengan isteri), harus campur dengan isteri sebelum empat bulan, kalau sudah lewat empat bulan maka jatuh talak. Kelompok kedua berpendapat bahwa tuntutan supaya campur dengan isteri (untuk menghindari jatuhnya talaq) itu setelah lewat empat bulan.
c. Perbedaan memandang lafaz 'am - khas, mujmal-mubayyan, mutlak-muqayyad, dan nasikh-mansukh.
Lafaz al-Qur'an adakalanya mengandung makna umum ('am) sehingga membutuhkan ayat atau hadis untuk mengkhususkan maknanya. Kadang kala tak ditemui qarinah (atau petunjuk) untuk mengkhususkannya, bahkan ditemui (misalnya setelah melacak asbabun nuzulnya) bahwa lafaz itu memang am tapi ternyata yang dimaksud adalah khusus (lafzh 'am yuradu bihi al-khushush). Boleh jadi sebaliknya, lafaznya umum tapi yang dimaksud adalah khusus (lafzh khas yuradu bihi al-'umum). Contoh yang pertama, Qs at-Taubah ayat 103 terdapat kata "amwal" (harta) akan tetapi tidak semua harta terkena kewajiban zakat (makna umum harta telah dikhususkan kedalam beberapa jenis harta saja). Contoh yang kedua, dalam QS al-Isra: 23 disebutkan larangan untuk mengucapkan "ah" pada kedua orangtua. Kekhususan untuk mengucapkan "ah" itu diumumkan bahwa perbuatan lain yang juga menyakiti orang tua termasuk ke dalam larangan ini (misalnya memukul, dan sebagainya).
Dan persoalannya, dalam kasus lain para ulama berbeda memandang satu ayat sebagai berikut:
Ø  lafaz umum dan memang maksudnya untuk umum, atau
Ø   lafaz umum tetapi maksudnya untuk khusus; dan
Ø  lafaz khusus dan memang maksudnya khusus; atau
Ø   lafaz khusus tetapi maksudnya umum.
Begitu juga perbedaan soal mujmal-mubayyan, mutlak-muqayyad, nasikh-mansukh, para ulama memiliki kaidah yang mereka ambil dalam rangka untuk memahaminya (saya khawatir pembahasan ini malah menjadi sangat tekhnis, karena itu untuk jelasnya silahkan merujuk ke buku-buku ushul al-fiqh).
d. Perbedaan dalam memahami lafaz perintah dan larangan.
 Ketika ada suatu lafaz berbentuk "amr" (perintah) para ulama mengambil tiga kemungkinan:
Ø  al-aslu fil amri lil wujub : (dasar "perintah" itu adalah wajib untuk dilakukan)
Ø  al-aslu fil amri li an-nadab : (dasar "perintah" itu adalah sunnah untuk dilakukan)
Ø  al-aslu fil amri lil ibahah : (dasar "perintah" itu adalah mubah untuk dilakukan)
Contohnya lafaz "kulluu wasyrabuu" (makan dan minumlah) menggunakan bentuk perintah, tetapi yang dimaksud adalah mubah. Lafaz "fankihuu maa thaba lakum minn nisa" (nikahilah wanita-wanita yang kamu sukai) juga menggunakan bentuk perintah. Para ulama ada yang memandang bahwa itu adalah wajib (mazhab Zhahiri), dan ada yang memandang sunnah (jumhur ulama).
Perbedaan pendapat ketika masa sahabat juga sudah terjadi,saat itu perbedaan pendapat pendapat dianggap suatu hal yag wajar dan perlu dikembangkan , tidak ada sahabat yang memaksakan pendapatnya kepada orang lain.[4]
B. Cara Menyikapi Ikhtilaf
1.      Membekali diri dan mendasari sikap sebaik-baiknya dengan ilmu, iman, amal dan akhlaq secara proporsional. Karena tanpa pemaduan itu semua, akan sangat sulit sekali bagi seseorang untuk bisa menyikapi setiap masalah dengan benar, tepat dan proporsional, apalagi jika itu masalah ikhtilaf atau khilafiyah.
2.      Memfokuskan dan lebih memprioritaskan perhatian dan kepedulian terhadap masalah-masalah besar ummat, daripada perhatian terhadap masalah-masalah kecil seperti masalah-masalah khilafiyah misalnya. Karena tanpa sikap dasar seperti itu, biasanya seseorang akan cenderung ghuluw (berlebih-lebihan) dan tatharruf (ekstrem) dalam menyikapi setiap masalah khilafiyah yang ada.
3.      Memahami ikhtilaf dengan benar, mengakui dan menerimanya sebagai bagian dari rahmat Allah bagi umat. Dan ini adalah salah satu bagian dari ittibaa’us-salaf (mengikuti ulama salaf), karena memang begitulah sikap mereka, yang kemudian diikuti dan dilanjutkan oleh para ulama ahlus-sunnah wal-jama’ah sepanjang sejarah. Dan dalam konteks ini mungkin perlu diingatkan bahwa, nash (teks) ungkapan yang selama dikenal luas sebagai hadits, yakni yang berbunyi: Ikhtilafu ummati rahmatu (perselisihan umatku adalah rahmat), bukanlah shahih sebagai hadits Nabi shallallahu ’alaihi wasallam. Karenanya bukanlah ”hadits” tersebut yang menjadi dasar sikap penerimaan ikhtilaf sebagai rahmat bagi umat itu. Namun dasarnya adalah warisan sikap dari para ulama salaf dan khalaf yang hampir sepakat dalam masalah ini. Sampai-sampai ada ulama yang menulis kitab dengan judul: Rahmatul Ummah Fi-khtilafil Aimmah (Rahmat bagi Umat dalam perbedaan pendapat para imam).
4.      Memadukan dalam mewarisi ikhtilaf para ulama terdahulu dengan sekaligus mewarisi etika dan sikap mereka dalam ber-ikhtilaf. Sehingga dengan begitu kita bisa memiliki sikap yang tawazun (proporsional). Sementara selama ini sikap kebanyakan kaum muslimin dalam masalah-masalah khilafiyah, seringkali lebih dominan timpangnya. Karena biasanya mereka hanya mewarisi materi-materi khilafiyah para imam terdahulu, dan tidak sekaligus mewarisi cara, adab dan etika mereka dalam ber-ikhtilaf, serta dalam menyikapi para mukhalif (kelompok lain yang berbeda madzhab atau pendapat).
5.      Mengikuti pendapat (ittiba’) ulama dengan mengetahui dalilnya, atau memilih pendapat yang rajih (kuat) setelah mengkaji dan membandingkan berdasarkan metodologi (manhaj) ilmiah yang diakui. Tentu saja ini bagi yang mampu, baik dari kalangan para ulama maupun para thullaabul-’ilmisy-syar’i (para penuntut ilmu syar’i). Sedangkan untuk kaum muslimin kebanyakan yang awam, maka batas kemampuan mereka hanyalah ber-taqlid (mengikuti tanpa tahu dalil) saja pada para imam terpercaya atau ulama yang diakui kredibelitas dan kapabelitasnya. Yang penting dalam ber-taqlid pada siapa saja yang dipilih, mereka melakukannya dengan tulus dan ikhlas, serta tidak berdasarkan hawa nafsu.
6.      Untuk praktek pribadi, dan dalam masalah-masalah yang bisa bersifat personal individual, maka masing-masing berhak untuk mengikuti dan memgamalkan pendapat atau madzhab yang rajih (yang kuat) menurut pilihannya. Meskipun dalam beberapa hal dan kondisi sangat afdhal pula jika ia memilih sikap yang lebih berhati-hati (ihtiyath) dalam rangka menghindari ikhtilaf (sesuai dengan kaidah ”al-khuruj minal khilaf mustahabb” – keluar dari wilayah khilaf adalah sangat dianjurkan).
7.      Sementara itu terhadap orang lain atau dalam hal-hal yang terkait dengan kemaslahatan umum, sangat diutamakan setiap kita memilih sikap melonggarkan dan bertoleransi (tausi’ah &  tasamuh). Atau dengan kata lain, jika kaidah dan sikap dasar dalam masalah-masalah khilafiyah yang bersifat personal individual, adalah melaksanakan yang rajih menurut pilihan masing-masing kita. Maka kaidah dan sikap dasar dalam masalah-masalah khilafiyah yang bersifat kebersamaan, kemasyarakatan, kejamaahan dan keummatan, adalah dengan mengedepankan sikap toleransi dan kompromi, termasuk sampai pada tahap kesiapan untuk mengikuti dan melaksanakan pendapat atau madzhab lain yang marjuh (yang lemah) sekalipun menurut kita.
8.      Menghindari sikap ghuluw (berlebih-lebihan) atau tatharruf (ekstrem), misalnya dengan memiliki sikap mutlak-mutlakan atau menang-menangan dalam masalah-masalah furu’ khilafiyah ijtihadiyah. Karena itu adalah sikap yang tidak logis, tidak islami, tidak syar’i dan tentu sekaligus tidak salafi (tidak sesuai dengan manhaj dan sikap para ulama salaf).
9.      Tetap mengutamakan dan mengedepankan masalah-masalah prinsip yang telah disepakati atas masalah-masalah furu’ yang diperselisihkan. Atau dengan kata lain, kita wajib selalu mengutamakan dan mendahulukan masalah-masalah ijma’ atas masalah-masalah khilafiyah.
10.  Tidak menerapkan prinsip atau kaidah wala’ dan bara’ dalam bersikap terhadap fenomena ikhtilaf yang terjadi  dalam masalah-masalah furu’ ijtihadiyah. Karena bab wala’ dan bara’ bukanlah di sini tempatnya, melainkan di dalam masalah-masalah aqidah, tauhid dan keimanan, atau dalam masalah-masalah ushul (prinsip) pada umumnya.
11.  Menjadikan masalah-masalah ushul (prinsip) yang disepakati (masalah-masalah ijma’) dan bukan masalah-masalah furu’ ijtihadiyah (masalah-masalah khilafiyah) sebagai standar dan parameter komitmen dan ke-istiqamahan seorang muslim. Jadi tidak dibenarkan misalnya kita menilai seseorang itu istiqamah atau tidak dan komit atau tidak, berdasarkan standar masalah-masalah khilafiyah. Sehingga misalnya akan dinilai istiqamah dan komit jika ia mengikuti madzhab atau pendapat tertentu, sementara akan dinilai tidak istiqamah dan tidak komit jika menganut madzhab atau pendapat yang lain. Begitu pula misalnya akan dinilai istiqamah dan komit jika ia selalu berpegang teguh melaksanakan pendapat dan madzhab pilihannya serta tidak mau berubah sama sekali dalam kondisi apapaun. Sedangkan jika ia dalam kondisi-kondisi tertentu bertoleransi dan berkompromi dengan pendapat dan madzhab lain, maka akan dinilai sebagai orang plin-plan, tidak berpendirian, dan tidak istiqamah. Tidak. Itu semua tidak benar. Bahkan yang benar adalah bahwa, siapapun yang menjalankan ajaran Islam sesuai standar batasan prinsip, maka ia adalah orang Islam yang istiqamah dan komit, apapun madzhab atau pendapat di antara madzhab-madzhab atau pendapat-pendapat ulama mu’tabar, yang diikuti dan dianutnya. Dan demikian pula sikap bertoleransi dan berkompromi sesuai kaidah dalam masalah-masalah khilafiyah ijtihadiyah adalah merupakan bagian dari bentuk dan bukti komitmen dan keistiqamahan itu sendiri.
12.  Menjaga agar ikhtilaf (perbedaan) dalam masalah-masalah furu’ ijtihadiyah tetap berada di wilayah wacana pemikiran dan wawasan keilmuan, dan tidak masuk ke wilayah hati, sehingga berubah mejadi perselisihan perpecahan (ikhtilafut- tafarruq), yang akan merusak ukhuwah dan melemahkan tsiqoh (rasa kepercayaan) di antara sesama kaum mukminin.
13.  Menyikapi orang lain, kelompok lain atau penganut madzhab lain sesuai kaidah berikut ini: Perlakukan dan sikapilah orang lain, kelompok lain dan penganut madzhab lain sebagaimana engkau, kelompok dan madzhabmu ingin diperlakukan dan disikapi. Serta janganlah memperlakukan dan menyikapi orang lain, kelompok lain dan pengikut madzhab lain dengan perlakuan dan penyikapan yang tidak engkau inginkan dan tidak engkau sukai untuk dirimu, kelompokmu atau madzhabmu.
Perbedaan pendapat mengenai masalah-masalah yang ada dalam fiqih harus disikapi dengan arif dan bijaksana. Kita tidak boleh bersikap apriori denan langsung menyalah-kan satu pendapat dan membenarkan pendapat lainnya. Sikap apriori yang semaam ini dapat memicu terjadinya perpecahan dikalangan umat. Masalah yang biasannya menimbulkan perbadaan pendapat dalam fiqih adalah masalah furu’iyah (cabang). Bukan masalah pokok. Oleh karena itu,mempertajam pertentnagan atau perbedaan pendapat alam masalah cabang ini hanyalah membuang-buang waktu dan energi.
Diantara imam madzhab sendiri tidak ada satupun yang merasa pendapatnya paling benar. Mereka tidak slaing menyalahkan ,apalagi menjatuhan, bahkan diantara mereka tidak ada yang menyuruh orang untuk hanya mengikuti pendapat madzhabnya,karena mereka menyadari bahwa mereka hanalah manusia biasa tidak luput dari kesalahan dan lupa. Imam malik pernah berkata: “saya ini tidak lain ,melainkan manusia biasa. Saya boleh jadi salah dan boleh jadi benar. Maka lhatlah dan pikirkanlah baik-baik pendapat saya. Apabila sesuai dengan kitab Al-Qur’an dan sunnah,maka ambillah ia dan jik tidah sesuai dengan kitab dan sunnah,maka tinggalkanlah ia.
C. Hikmah Adanya Ikhtilaf
            Ikhtilaf yang mengikuti ketentuan-ketentuan akan memberikan manfaat, jika didasarkan pada beberapa hal berikut yaitu :
1.      Niatnya jujur dan menyadari akan tanggung jawab bersama. Ini bisa dijadikan salah satu dalil dari sekian banyak model dalil.
2.      Ikhtilaf itu digunakan untuk mengasah otak dan untuk memperluas cakrawala berpikir.
3.      Memberikan kesempatan berbicarakepada lawan bicara atau pihak lain yang berbeda pendapat dan bermua’malah dengan manusia lainnya yang menyangkut kehidupan diseputar mereka.

BAB III
PENUTUP
A.      kesimpulan
Sebab-sebab terjadinya perbedaan pendapat Dapat disimpulkan dan dikelompokkan kedalam empat sebab utama:
Ø  Perbedaan pendapat tentang valid - tidaknya suatu teks dalil syar’i tertentu.
Ø  Perbedaan pendapat dalam menginterpretasikan teks dalil syar’i tertentu.
Ø  Perbedaan pendapat tentang beberapa kaidah ushul fiqh dan beberapa dalil (sumber) hukum syar’i.
Ø  Perbedaan pendapat yang dilatar belakangi oleh perubahan realita kehidupan, situasi, kondisi, tempat, masyarakat, dan semacamnya.

















[1]muhammad husein,Al-mizan jil.4,penerbit islami,qum,hal. 364-365
[2] http://aliranim.blogspot.com/2011/10/sebab-sebab-perbedaan-pendapat-ikhtilaf.html
   Diambil pada Selasa, 18 Maret 2014,18:07
[3] http://www.alsofwa.com/2730/197-analisa-sebab-sebab-perbedaan-pendapat.html
   Diambil pad Selasa, 18 Maret 2014 19:49
[4] Munim a.sirry,sejarah fiqih islam ,surabaya:risalah gusti,1996 hal.39

Komentar

Postingan Populer