BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Sesudah Soekarno-Hatta,atas nama
bangsa indonesia, memproklamasikan keerdekaan pada tanggal 17 agustus 1945, di
mulailah era baru dalam kehidupan kebangsaan,yaitu era belajar memerintah
negara sendiri .
setelah kemerdekaan indonesia tercapai,melalui panitia persiapan kemerdekaan
indonesia (PPKI),berbagi perangkat pemerintahan dipersiapkan. Agenda sidang
PPKI ,sesudah proklamasi kemerdekaan adalah menetapakan undan-undang dasar
negara republik indonesia dan secara aklamasi memilih soekarno-hatta sebagai
presiden dan wakil presiden negara republik indonesia.
Peristiwa yang terpenting setelah
kemerdekaan indonesia ialah, pemberian bentuk hukum oleh para pendiri negara
paa tatanan politik yang telah terbentuk. Kemudian landasan filsafat da tujuan
negara dituangkan dalam pancasila. Pancasila sebagai landasan filsafat negara
indonesia, menegaskan bahwa tatanan politik yang dikehendaki untuk mewujudkan
negara ini adalah negara pancasila,
dengan ciri-ciri berikut ini,pertama,negara pancasila adalah negara hukum.
Didalamnya semua penggunaan kekuasaan harus selalu ada landasan hukumnya dan
dalam kerangka batas-bats yang ditetapkan hukum,artinya,agar suatu hukum dapat
berjalan dengan baik,harus diperlukan suatu kekuasaan untuk melaksanakannya.
Akan tetapi, dilain pihak justru seringkali kekuasaan itulah yang
memporak-porandakan hukum,yakni jika kekuasaan tidak di batasi ketat oleh
hukum. Hal ini selaras dengan apa yang dikatakan oleh mochtar kusumatmadja,
hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan sedangkan kekuasaan tanpa hukum adalah
kezliman. Jadi pemerintahan yag dikehendaki oleh negara pancasila ini adalah
rule of law. Dalam hal ini,rumusan dalam UUD 1945 itu telah dipraktekkan dengan
doktrin dan asas yang ada pada rule of law.
Berbagai perkembangan hukum di
negara ini, harus ditempatkan dalam
rangka membangun sistem hukum nasional indonesia. Perkembangan hukum di
indonesia selalu memanfaatkan tiga sistem hukum yang eksis atau yang hidup
dalam masyarakat (living law),dari mulai hukum adat ,hukum islam,dan hukum
barat(belanda),sebagai bahan bakunya.
Berikut ini pemakalah akan memaparkan mengenai
sentralisme hukum dan dampaknya terhadap hukum adat/ lokal.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sentralisme hukum (unifikasi dan kodifiksi) dan dampaknya pada
hukum adat/lokal
Di
bawah pemerintahan orde baru dan pemerintahan transisi (pasca orba 1998-1999), tatanan
hukum di indonesia muncul dalam berbagai bentuknya . ia memperlihatkan bentuk formalismenya dan proseduralisme dalam
penyelesaian masalah ,tetapi disisi lain begitu represif. Menurut pendapat
penulis, sitasi hukum pada periode ini tidaklah berkembang ke arah yang lebih baik,
bahkan harus diakui pada akhirnya, setelah kekuasaan orde baru berada
dipuncak,tatanan hukum muncul dalam bentuk yang represif . hal ini dapat
terlihat dari kepentingan masyarakat (untuk meningkatkan kesejahteraan),tetapi
sebaliknya justru untuk kepentingan dan kelenggangan kekuasaan.
Prof.soebekti pernah menulis dalam
bukunya yang menyatakan ,”adalah tidak bisa di pungkiri bahwa hukum itu sebagai
suatu kebudayaan yang merupakan suatu refleksi dari cara berpikir ,pandangan
hidup dan suatu karakter bangsa.” (prof.soebekti,SH,1980: hal 37)
Ungkapan
ini mengingatkan kita kepada suatu tugas berat yang haru kita tuntaskan. Sebab
sampai hari ini hukum yang belaku di negara kita sebagian besar bukan refleksi
dari cara berpikir, pandangan hidup dan karakter bangsa kita. Sebagian besar
adalah merupakan peninggalan hukum kolonial.
Pentingnya ungkapan soebekti ini
kita ingat adalah karena dalam upaya kita untuk menyusun hukum nasional mau
tidak mau ,suka atau tidak suka,kita
harus melihat cermin kebudayaan masyarakat kita sendiri. Seberapapun megahnya
kebudayaan orang lain, itu tetap tidak sesuai dengan kondisi masyarakat kita.
Apalagi dibidang hukum ia harus dapat menampung aspirasi masyarakat indonesia.
Albert hasibuan dalam sebuah
wawancara dengan wartawan kompas mengatakan ,”dulu orang merumuskan rule of law
cukup sebagai ketaatan pada hukum,artinya segala sesuatu harus didasarkan pada
hukum. Tetapi sebenarnya rule of law juga mengandung makna hukum yag harus
ditaati itu berisi aspirasi masyarakat,bukan aspirasi golongan masyarakat
tertentu. Artinya hukum itu harus
dirasakan adil leh setiap masyarakat.” (kompas,6-10-83:hal 1)
Jadi jika kita kaitkan dengan
kondisi masyarakat kita hari ini apakah hukum yang ada sekarang telah dapat
menampung aspirasi masyarakat sebagaiman yang disebutkan albert. Jika kami
tidak salah menafsirkan tentu keinginan albert,hukum yang berlaku di negara
kita ini harus sesuai dengan keinginan
azas yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat indonesia.
Dalam kesempatan yang sama adnan
buyung mengatakan ,”dalam negara hukum yang dianut oleh indonesia sekarang ada
kecenderungan terjadinya pergeseran kearah formal legalitas,tanpa melihat segi
substansinya.”
Ungkapan
buyung inilah yang kami maksudkan dengan
hukum telah kehilangan makna . nampaknya buyung menginginkan agar para pembuat
undang-undang dalam membentuk tata hukum indonesia harus memperhatikan segi
“substansil” ini, yang menurut pemahaman kami harus kembali kepada azas.
Dalam pada itu TM radhie membenarkan
ketika ditanyakan bahwa hukum yang berlaku di indonesia secara substansil belum
sepenuhnya menggambarkan aspirasi bangsa. Ia mengemukakan contoh dari enam
hukum pokok yang harus ditata kembali, baru satu yang berhasil dibuat yaitu
kitab undang-undang hukum acara pidana,selebihnya masih peninggalan masa lalu
seperti ,hukum perdata,hukum dagang,hukum pidana , dan hukum perdata
internasional radhie mengingatkan agar ditata kembali hukum indonesia yang
sesuai dengan perkembangan bangsa indonesia.
Masalah
baru yang mungkin muncul adalah, apakah mungkin dalam masyarakat kita yang
plural yang berbeda tingkat pemahaman ataupun corak kultur sosialnya dapat
diberlakukan suatu hukum yang unifikasi?
Adalah
suatu pertanyaan yang sulit untuk dijawab. Kondisi kita hari ini belum mampu
untuk mewujudkan hal itu. Jika hukum yang harus dibentuk itu didasarkan pada
pandangan hidup atau karakter suatu bangsa,maka tugas kita hari ini adlah untuk
menyamakan pandangan itu. Karena bagaimanapun juga dalam hal-hal tertentu ada “prinsip-prinsip” kebudayaan
bangsa kita yang dirasakan bertentangan satu sama lain.
Kode hukum adalah merupakan tipe
fakta sosial yang merupakan suatu persetujuan resmi dari peraturan dan
pengaturan masyarakat yang dihubungkan dengan nilai-nilai dasar serta kebiasaan
–kebiasaan yang dimiliki bersama keseluruh masyarakat dan mampu memakan
individu. Kode hukum mengatasi individu,dan analisa teoritis substanstif
durkheim tentang solidaritas sosial dan perubahan sosial menggunakan tipe-tipe
kode hukum yang berbeda sebagai indikator utnuk tipe-tipe struktur yang
berbeda.
Namun kode hukum menyajikan hanya
sebagian gambaran mengenai dunia sosial. Ada sejumla kebiaasaan ,moral,norma
dan pola pemikiran yang tidak tercakup dalam hukum-hukum suatu masyarakat.
Fakta sosial meliputi gejala seperti norma,ideal
moral,kepercayaan,kebiasaan,pola berpikir,perasaan,dan pendapat umum. (doyle
paul johnson.,di indonesiakan oleh robert M.Z lawang,1981:179)
Durkheim
melalui analisa fungsionalnya yang secara implisit tercantum dalam bukunya yang
berjudul “two-laws of penal evolution “ yang diterbitkan tahun 1989. Isi buku
dimulai dengan masalah fungsionalisme. Menurut durkheim kejahatan adalah
sesuatu yang normal berdasarkan bukti dari analisa komparatif. Ini terjadi
sebagai suatu benda akibat dari “kebocoran” salah satu sisi dari sistem yang
berfungsi secara tidak sehat ,tetapi berbeda dengan mahluk hidup,masyarakat
secara keseluruhan tidak dapat diidentifikasi secara materil. Batasan-batasan
dalam masyarakat harus kita amati dan kita identifikasi,dan selama batasan
–batsan ersebut masih berfungsi,maka kejahatan adalah sesuatu yang normal.
Tetapi jika batasan-batasan tersebut tidak berfungsi,maka masyarakatnya tidak
normal,masyarakat patheologis atau suatu masyarakat yang sedang sakit.
Pembangunan di bidang hukum yang
dikemas dalam wujud hukum nasional, jika dicermati secara seksama lebih dari
tiga dasawarsa terakhir ini, cenderung mengedepankan penggunaan anutan
paradigma pembangunan hukum yang bercorak sentralisme hukum, melalui
implementasi politik unifikasi dan kodifikasi hukum negara dengan
memarjinalkan, menggusur, mengabaikan, dan bahkan mematisurikan keberadaan
hukum adat dan juga hukum agama, karena secara sadar hukum lebih dibangun dan difungsikan
sebagai hukum sosial pemerintah (governmental social law), atau sebagai
pelayan kekuasaan represif (the servant of repressive power),
atau sebagai perintah kedaulatan tertinggi (the command of sovereign backed by sanction).
Paradigma pembangunan hukum yang
bercorak sentralisme hukum, disadari atau tidak, pada gilirannya menjadi pemicu
munculnya konflik nilai dan konflik norma dalam pelaksanaan pembangunan
nasional. Secara lebih spesifik dalam hubungan dengan regulasi negara atas
penguasaan, pengelolaan, dan pemanfaatan sumberdaya agraria,
sumberdaya alam, tidak hanya dipersepsikan sebagai sumber kehidupan yang
bernilai ekonomi semata, tetapi juga memiliki arti, makna dan nilai sosial dan
religius. Karena itu mereka harus melindungi, mengkonservasi, mengelola dan
memanfaatkan secara rasional dan bijaksana dengan menggunakan prinsip dan
kaidah hukum adat yang secara de facto menjadi the living law
dalam kehidupan masyarakat di daerah.
Kemajemukan hukum merupakan fakta
kehidupan hukum dalam masyarakat Indonesia yang
multikultural. Oleh karena itu, dalam rangka meningkatkan tujuan, fungsi, dan
peran hukum dalam negara kesatuan Republik Indonesia, dalam rangka memelihara,
mengukuhkan, mengokohkan integrasi seluruh komponen anak bangsa, maka tidak ada
alasan lagi bagi pemerintah yang sedang berkuasa dan lembaga legislatif untuk
segera melakukan reorientasi dan reformasi paradigma pembangunan hukum yang
bersifat legal centralism ke anutan
pembangunan hukum yang berideologi legal pluralism, bertipe hukum yang
responsif, dan berkarakteristik hukum yang progresif dalam kemasan hukum
nasional.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Dapat disimpulkan pembangunan
hukum yang bercorak sentralisme hukum, melalui implementasi politik unifikasi
dan kodifikasi hukum negara dengan memarjinalkan, menggusur, mengabaikan, dan
bahkan mematisurikan keberadaan hukum adat dan juga hukum agama, karena secara
sadar hukum lebih dibangun dan difungsikan sebagai hukum sosial pemerintah (governmental
social law), atau sebagai pelayan kekuasaan represif (the servant of
repressive power), atau sebagai perintah
kedaulatan tertinggi (the command of sovereign backed
by sanction). Sentralisme hukum menjadi pemicu munculnya konflik nilai dan
konflik norma dalam pelaksanaan
pembangunan nasional. Secara lebih spesifik dalam hubungan dengan regulasi
negara atas penguasaan, pengelolaan, dan pemanfaatan sumberdaya agraria, sumberdaya alam, tidak hanya dipersepsikan
sebagai sumber kehidupan yang bernilai ekonomi semata, tetapi juga memiliki
arti, makna dan nilai sosial dan religius. Karena itu mereka harus melindungi,
mengkonservasi, mengelola dan memanfaatkan secara rasional dan bijaksana dengan
menggunakan prinsip dan kaidah hukum adat yang secara de facto menjadi the
living law dalam kehidupan masyarakat di daerah.
Komentar
Posting Komentar