Langsung ke konten utama

Unggulan

QUOTES THE LAW CAFE

"Keluargamu adalah rumahmu" Kebanyakan orang berfikir, saat rumahnya mulai hancur mereka juga hancur dan tak bisa di selamatkan. Namun, bukankah keluarga hanyalah sebagiann dari hidupmu dan bukan segalanya. Ada kalanya kamu harus mencari kebahagiaanmu sendiri. Tidak peduli sebesar apa kamu mencintai keluargamu. Terkadang, kamu harus menjauh dari mereka untuk mencari jalanmu. Jika kamu tidak pergi disaat yang tepat, kamu mungkin akan merasakan penderitaan seumur hidupmu. Entah mereka keluargamu atau bukan. Jika mereka membuatmu menderita, larilah! Jangan biarkan dirimu menderita seumur hidupmu, karena orang bodoh yang tak bisa membedakan kekerasan dan cinta. --- From: The Law Cafe episode.04

Sentralisme hukum



BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
            Sesudah Soekarno-Hatta,atas nama bangsa indonesia, memproklamasikan keerdekaan pada tanggal 17 agustus 1945, di mulailah era baru dalam kehidupan kebangsaan,yaitu era belajar memerintah negara sendiri .[1] setelah kemerdekaan indonesia tercapai,melalui panitia persiapan kemerdekaan indonesia (PPKI),berbagi perangkat pemerintahan dipersiapkan. Agenda sidang PPKI ,sesudah proklamasi kemerdekaan adalah menetapakan undan-undang dasar negara republik indonesia dan secara aklamasi memilih soekarno-hatta sebagai presiden dan wakil presiden negara republik indonesia.
            Peristiwa yang terpenting setelah kemerdekaan indonesia ialah, pemberian bentuk hukum oleh para pendiri negara paa tatanan politik yang telah terbentuk. Kemudian landasan filsafat da tujuan negara dituangkan dalam pancasila. Pancasila sebagai landasan filsafat negara indonesia, menegaskan bahwa tatanan politik yang dikehendaki untuk mewujudkan negara ini adalah negara pancasila,[2] dengan ciri-ciri berikut ini,pertama,negara pancasila adalah negara hukum. Didalamnya semua penggunaan kekuasaan harus selalu ada landasan hukumnya dan dalam kerangka batas-bats yang ditetapkan hukum,artinya,agar suatu hukum dapat berjalan dengan baik,harus diperlukan suatu kekuasaan untuk melaksanakannya. Akan tetapi, dilain pihak justru seringkali kekuasaan itulah yang memporak-porandakan hukum,yakni jika kekuasaan tidak di batasi ketat oleh hukum. Hal ini selaras dengan apa yang dikatakan oleh mochtar kusumatmadja,[3] hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan sedangkan kekuasaan tanpa hukum adalah kezliman. Jadi pemerintahan yag dikehendaki oleh negara pancasila ini adalah rule of law. Dalam hal ini,rumusan dalam UUD 1945 itu telah dipraktekkan dengan doktrin dan asas yang ada pada rule of law.
            Berbagai perkembangan hukum di negara ini,  harus ditempatkan dalam rangka membangun sistem hukum nasional indonesia. Perkembangan hukum di indonesia selalu memanfaatkan tiga sistem hukum yang eksis atau yang hidup dalam masyarakat (living law),dari mulai hukum adat ,hukum islam,dan hukum barat(belanda),sebagai bahan bakunya.
            Berikut ini  pemakalah akan memaparkan mengenai sentralisme hukum dan dampaknya terhadap hukum adat/ lokal.
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Sentralisme hukum (unifikasi dan kodifiksi) dan dampaknya pada hukum adat/lokal
                        Di bawah pemerintahan orde baru dan pemerintahan transisi (pasca orba 1998-1999)[4], tatanan hukum di indonesia muncul dalam berbagai bentuknya . ia memperlihatkan  bentuk formalismenya dan proseduralisme dalam penyelesaian masalah ,tetapi disisi lain begitu represif. Menurut pendapat penulis, sitasi hukum pada periode ini tidaklah berkembang ke arah yang lebih baik, bahkan harus diakui pada akhirnya, setelah kekuasaan orde baru berada dipuncak,tatanan hukum muncul dalam bentuk yang represif . hal ini dapat terlihat dari kepentingan masyarakat (untuk meningkatkan kesejahteraan),tetapi sebaliknya justru untuk kepentingan dan kelenggangan kekuasaan.[5]
            Prof.soebekti pernah menulis dalam bukunya yang menyatakan ,”adalah tidak bisa di pungkiri bahwa hukum itu sebagai suatu kebudayaan yang merupakan suatu refleksi dari cara berpikir ,pandangan hidup dan suatu karakter bangsa.” (prof.soebekti,SH,1980: hal 37)
Ungkapan ini mengingatkan kita kepada suatu tugas berat yang haru kita tuntaskan. Sebab sampai hari ini hukum yang belaku di negara kita sebagian besar bukan refleksi dari cara berpikir, pandangan hidup dan karakter bangsa kita. Sebagian besar adalah merupakan peninggalan hukum kolonial.[6]
            Pentingnya ungkapan soebekti ini kita ingat adalah karena dalam upaya kita untuk menyusun hukum nasional mau tidak mau  ,suka atau tidak suka,kita harus melihat cermin kebudayaan masyarakat kita sendiri. Seberapapun megahnya kebudayaan orang lain, itu tetap tidak sesuai dengan kondisi masyarakat kita. Apalagi dibidang hukum ia harus dapat menampung aspirasi masyarakat indonesia.[7]
            Albert hasibuan dalam sebuah wawancara dengan wartawan kompas mengatakan ,”dulu orang merumuskan rule of law cukup sebagai ketaatan pada hukum,artinya segala sesuatu harus didasarkan pada hukum. Tetapi sebenarnya rule of law juga mengandung makna hukum yag harus ditaati itu berisi aspirasi masyarakat,bukan aspirasi golongan masyarakat tertentu. Artinya hukum  itu harus dirasakan adil leh setiap masyarakat.” (kompas,6-10-83:hal 1)[8]
            Jadi jika kita kaitkan dengan kondisi masyarakat kita hari ini apakah hukum yang ada sekarang telah dapat menampung aspirasi masyarakat sebagaiman yang disebutkan albert. Jika kami tidak salah menafsirkan tentu keinginan albert,hukum yang berlaku di negara kita ini harus sesuai dengan keinginan  azas yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat indonesia.
            Dalam kesempatan yang sama adnan buyung mengatakan ,”dalam negara hukum yang dianut oleh indonesia sekarang ada kecenderungan terjadinya pergeseran kearah formal legalitas,tanpa melihat segi substansinya.”
Ungkapan buyung inilah yang kami maksudkan  dengan hukum telah kehilangan makna . nampaknya buyung menginginkan agar para pembuat undang-undang dalam membentuk tata hukum indonesia harus memperhatikan segi “substansil” ini, yang menurut pemahaman kami harus kembali kepada azas.
            Dalam pada itu TM radhie membenarkan ketika ditanyakan bahwa hukum yang berlaku di indonesia secara substansil belum sepenuhnya menggambarkan aspirasi bangsa. Ia mengemukakan contoh dari enam hukum pokok yang harus ditata kembali, baru satu yang berhasil dibuat yaitu kitab undang-undang hukum acara pidana,selebihnya masih peninggalan masa lalu seperti ,hukum perdata,hukum dagang,hukum pidana , dan hukum perdata internasional radhie mengingatkan agar ditata kembali hukum indonesia yang sesuai dengan perkembangan bangsa indonesia.
Masalah baru yang mungkin muncul adalah, apakah mungkin dalam masyarakat kita yang plural yang berbeda tingkat pemahaman ataupun corak kultur sosialnya dapat diberlakukan suatu hukum yang unifikasi?
Adalah suatu pertanyaan yang sulit untuk dijawab. Kondisi kita hari ini belum mampu untuk mewujudkan hal itu. Jika hukum yang harus dibentuk itu didasarkan pada pandangan hidup atau karakter suatu bangsa,maka tugas kita hari ini adlah untuk menyamakan pandangan itu. Karena bagaimanapun juga dalam hal-hal  tertentu ada “prinsip-prinsip” kebudayaan bangsa kita yang dirasakan bertentangan satu sama lain.
            Kode hukum adalah merupakan tipe fakta sosial yang merupakan suatu persetujuan resmi dari peraturan dan pengaturan masyarakat yang dihubungkan dengan nilai-nilai dasar serta kebiasaan –kebiasaan yang dimiliki bersama keseluruh masyarakat dan mampu memakan individu. Kode hukum mengatasi individu,dan analisa teoritis substanstif durkheim tentang solidaritas sosial dan perubahan sosial menggunakan tipe-tipe kode hukum yang berbeda sebagai indikator utnuk tipe-tipe struktur yang berbeda.[9]
            Namun kode hukum menyajikan hanya sebagian gambaran mengenai dunia sosial. Ada sejumla kebiaasaan ,moral,norma dan pola pemikiran yang tidak tercakup dalam hukum-hukum suatu masyarakat. Fakta sosial meliputi gejala seperti norma,ideal moral,kepercayaan,kebiasaan,pola berpikir,perasaan,dan pendapat umum. (doyle paul johnson.,di indonesiakan oleh robert M.Z lawang,1981:179)
Durkheim melalui analisa fungsionalnya yang secara implisit tercantum dalam bukunya yang berjudul “two-laws of penal evolution “ yang diterbitkan tahun 1989. Isi buku dimulai dengan masalah fungsionalisme. Menurut durkheim kejahatan adalah sesuatu yang normal berdasarkan bukti dari analisa komparatif. Ini terjadi sebagai suatu benda akibat dari “kebocoran” salah satu sisi dari sistem yang berfungsi secara tidak sehat ,tetapi berbeda dengan mahluk hidup,masyarakat secara keseluruhan tidak dapat diidentifikasi secara materil. Batasan-batasan dalam masyarakat harus kita amati dan kita identifikasi,dan selama batasan –batsan ersebut masih berfungsi,maka kejahatan adalah sesuatu yang normal. Tetapi jika batasan-batasan tersebut tidak berfungsi,maka masyarakatnya tidak normal,masyarakat patheologis atau suatu masyarakat yang sedang sakit.
            Pembangunan di bidang hukum yang dikemas dalam wujud hukum nasional, jika dicermati secara seksama lebih dari tiga dasawarsa terakhir ini, cenderung mengedepankan penggunaan anutan paradigma pembangunan hukum yang bercorak sentralisme hukum, melalui implementasi politik unifikasi dan kodifikasi hukum negara dengan memarjinalkan, menggusur, mengabaikan, dan bahkan mematisurikan keberadaan hukum adat dan juga hukum agama, karena secara sadar hukum lebih dibangun dan difungsikan sebagai hukum sosial pemerintah (governmental social law), atau sebagai pelayan kekuasaan represif (the servant of repressive power), atau sebagai perintah kedaulatan tertinggi (the command of sovereign backed by sanction).[10]     
            Paradigma pembangunan hukum yang bercorak sentralisme hukum, disadari atau tidak, pada gilirannya menjadi pemicu munculnya konflik nilai dan konflik norma dalam pelaksanaan pembangunan nasional. Secara lebih spesifik dalam hubungan dengan regulasi negara atas penguasaan, pengelolaan, dan pemanfaatan sumberdaya agraria, sumberdaya alam, tidak hanya dipersepsikan sebagai sumber kehidupan yang bernilai ekonomi semata, tetapi juga memiliki arti, makna dan nilai sosial dan religius. Karena itu mereka harus melindungi, mengkonservasi, mengelola dan memanfaatkan secara rasional dan bijaksana dengan menggunakan prinsip dan kaidah hukum adat yang secara de facto menjadi the living law dalam kehidupan masyarakat di daerah.
            Kemajemukan hukum merupakan fakta kehidupan hukum dalam masyarakat Indonesia yang multikultural. Oleh karena itu, dalam rangka meningkatkan tujuan, fungsi, dan peran hukum dalam negara kesatuan Republik Indonesia, dalam rangka memelihara, mengukuhkan, mengokohkan integrasi seluruh komponen anak bangsa, maka tidak ada alasan lagi bagi pemerintah yang sedang berkuasa dan lembaga legislatif untuk segera melakukan reorientasi dan reformasi paradigma pembangunan hukum yang bersifat legal centralism ke anutan pembangunan hukum yang berideologi legal pluralism, bertipe hukum yang responsif, dan berkarakteristik hukum yang progresif dalam kemasan hukum nasional.
BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
      Dapat disimpulkan pembangunan hukum yang bercorak sentralisme hukum, melalui implementasi politik unifikasi dan kodifikasi hukum negara dengan memarjinalkan, menggusur, mengabaikan, dan bahkan mematisurikan keberadaan hukum adat dan juga hukum agama, karena secara sadar hukum lebih dibangun dan difungsikan sebagai hukum sosial pemerintah (governmental social law), atau sebagai pelayan kekuasaan represif (the servant of repressive power), atau sebagai perintah kedaulatan tertinggi (the command of sovereign backed by sanction). Sentralisme hukum menjadi pemicu munculnya konflik nilai dan konflik norma dalam      pelaksanaan pembangunan nasional. Secara lebih spesifik dalam hubungan dengan regulasi negara atas penguasaan, pengelolaan, dan pemanfaatan sumberdaya agraria, sumberdaya alam, tidak hanya dipersepsikan sebagai sumber kehidupan yang bernilai ekonomi semata, tetapi juga memiliki arti, makna dan nilai sosial dan religius. Karena itu mereka harus melindungi, mengkonservasi, mengelola dan memanfaatkan secara rasional dan bijaksana dengan menggunakan prinsip dan kaidah hukum adat yang secara de facto menjadi the living law dalam kehidupan masyarakat di daerah.







[1] Anwar harjono ,perjalanan politik bangsa :menoleh ke belakang menatap masa depan (jakarta: gema insan pers,1997),hlm.69
[2] B. Arief sidharta,refleksi tentang hukum (bandung: PT. Citra aditya bakti,2000)hlm.46
[3] Mochtar kusumatmadja,konsep-konsep hukum dalam pembangunan (bandung: alumni,2002)hlm.199
[4] Eep saefullah fatah,bangsa saya yang menyebalkan (bandung: PT.remaja rosda karya,1998)
[5] Yesmil anwar & adang ,pengantar sosiologi hukum,jakarta: PT. Gramedia widiasrana indonesia,2008,hlm .172
[6] Ok. Chairuddin, sosiologi hukum, (jakarta: sinar grafika,1991) hlm.108
[7] Ibid ,hlm. 109
[8] ibid
[9] Ibid,hlm.114
[10] I Nyoman Nurjaya,sentralisme hukum memicu konflik, http://prasetya.ub.ac.id/ di ambil pada 01.06.14

Komentar

Postingan Populer